Attention: Tulisan ini bakal (sangat) panjang, dan review ini merupakan flashback dari event yang terjadi sekitar 2 tahun lalu (catatan: JRL 2014 ditiadakan).
Well, 2 hari weekend kemarin, saya baru saja merasakan salah satu konser paling berkesan dalam hidup saya. Bukan karena konser tersebut adalah Java Rockin’Land, karena memang, JRL adalah konser musik yang rutin saya sambangi saban tahun. Mulai dari 2009, dimana pada saat itu MR. BIG yang tampil, kemudian tahun 2010, ketika itu The Smashing Pumpkins dan Stereophonics yang manggung. Tahun 2011 dimana Thirty Seconds To Mars berhasil mengguncang Jakarta bersama The Cranberries. Sayangnya, di tahun 2012 JRL urung diadakan. Dan di tahun 2013 ini, kembali hadir.
Kenapa berkesan? Karena saya hanya membayar kurang dari 100 ribu rupiah untuk menikmati penampilan band legendaris Collective Soul dan band yang hits di era 90-an Sugar Ray, dan banyak lagi. Terutama, band Indonesia yang “kumpul” dan mereka semua adalah favorit saya dan saya mengoleksi kasetnya dulu. Sebut saja GIGI, /rif, PAS Band, bahkan ada Padi KW Super (haha) dalam bentuk Musikimia. Itulah yang membuat saya tertarik! Sebentar.. 100 ribu kurang itu kalau bisa dinominalkan dengan pasti yaitu hanya sebesar 82.500 rupiah saja, hehe.
Kenapa bisa segitu? Cerita berawal di suatu malam dimana saya mendapat pengumuman di Twitter, bahwa JRL 2013 akan segera diadakan, dan salah satu performernya adalah Collective Soul! Wow, saya ingat dulu di kamar kakak saya, saya suka banget nyetel album Collective Soul yang 7 Year Itch. Dan kaset itu adalah salah satu kaset favorit saya, dan saya berkesempatan see them live. Nah besoknya, saya melihat announcement di Twitter yang menyatakan tiket JRL sudah bisa dibeli. Dan ketika saya lihat, early bird awal (banget) hanya seharga 75 ribu rupiah! Haha.. Ditotal total dengan pajak hanya menjadi 82.500 dan tanpa tedeng aling aling ya saya pesan saja.
Day 1 (22 June).
Singkat ceritaa, saya sudah berada di perjalanan datang bersama teman saya. Dan menurut jadwal, di hari pertama (tanggal 22) akan perform Collective Soul as main artist, dan Sixpence None The Richer. Juga untuk band Indo, nama seperti Cherry Bombshell, band Indie jaman dulu yang (ternyata) belum bubar yang menjadi incaran saya. Namun sayang sekali, Cherry Bombshell tidak bisa saya saksikan karena, ya saya baru masuk venue pasca magrib, hehe.
Jadi saya dan teman saya sudah sampai ketika sore hari, namun karena makan dulu biar ga kelaperan di dalem dan juga magriban dulu, jadi pasca sholat di Ancol Mall sebelah Carnaval Beach, kami baru masuk. Dan ketika sampai dalam, Edane sedang perform. Kesan pertama yang tampak di JRL kali ini adalah, venue agak sedikit lebih sempit dari tahun-tahun sebelumnya (apa karena ada jeda setahun mungkin ya), dan audiens tidak terlalu banyak (oke mungkin masih sore). Namun, saya tetap berharap JRL kali ini dapat memberikan kepuasan tersendiri.
Oke, Edane tampil dengan vokalis baru yang saya tak tahu namanya, dan seperti biasa Eet Sjahranie menjadi motor dari band tersebut. Lagu-lagu band tersebut yang saya tak tahu judul-judulnya sempat membuat saya menghentak-hentakkan kaki, sebelum saya tertarik ke venue lain yang kebetulan dekat dengan stand beverages. Oke, disana sedang tampil Morfem.
Morfem yang kebetulan drummer nya adalah kakak dari teman saya seperti biasa tampil menghibur. Apalagi kalo bukan sang vokalis, Jimi Multhazam yang membuat penampilan band tersebut lucu dan penuh banyolan. Jimi yang eks pentolan The Upstairs sangat interaktif dengan penonton, dengan gaya bernyanyi nya yang pecicilan namun tetap dengan kualitas vokal prima, mampu membuat semua orang yang menonton penampilan Morfem menjadi betah. Meskipun agak asing dengan lagu-lagu mereka, namun setelah 2 kali menonton penampilannya (pertama kali ketika konser Blur), Morfem cukup menarik perhatian saya dan aksi panggung mereka pantas diacungi jempol.
Setelah Morfem usai, saya dan teman melihat buku panduan JRL untuk melihat jadwal tampil selanjutnya. Dan guess who, SORE yang selanjutnya siap sedia untuk ditonton. Wow, segera saya tertarik untuk melihat performance mereka, karena Sore adalah salah satu band indie yang bagus dan berkualitas. Dan tentunya, selama ini saya belum pernah menonton performance mereka. Hal ini membuat saya menjadi semakin penasaran dan tak tertahankan untuk menonton Sore (lebay). Akhirnya saya dan teman menuju Dome Stage, yaitu panggung indoor di belakang main stage untuk menonton performance Sore. Dome Stage ini dulunya ada tribun duduk tempat penonton menonton dari atas, namun sekarang tangga untuk akses ke lantai tribun telah ditutup, dan akhirnya kami berkerumun di depan panggung hall yang jaraknya lebih dekat dari stage biasa diluar.
Dome Stage ini memang sepertinya khusus untuk musik rock yang agak lembut dan tidak menimbulkan kebisingan yang terlalu. Tapi ga juga ding, pas JRL tahun berapa itu ada Roxx musiknya kenceng banget juga main di Dome haha. Jadi ya kesimpulan saya itu ga bener lah ya. Singkat kata, Sore tampil dengan ciamik dan benar-benar membawa penonton ke dimensi lain pertunjukan musik rock (halah).. Dan yang saya baru tahu adalah, Sore semua personilnya itu kidal semua ya. Dan ada 3 additional playernya juga, ya ya. Maklum saya baru liat performance nya. Dan kesimpulan setelah saya melihat performance nya adalah, ciamik! Mereka berhasil membawakan lagu-lagu mereka yang pastinya tidak mainstream dengan kualitas dan skill terbaik, dan pastinya membuat penonton riuh dan bernyanyi bersama. Mungkin disinilah kekuatan Sore, memberikan warna musik yang berbeda dari musik kebanyakan, namun tetap pada kualitas yang dimiliki. Dan hal paling esensial yang saya tangkap dari kehadiran Sore di blantika musik (indie) Indonesia adalah, kemampuan mereka untuk menciptakan musik yang memiliki nuansa beragam, dan bermacam-macam hingga terkadang kita mengira bahwa itu bukan dibawakan oleh Sore. Keren!
Setelah Sore selesai membawakan lagu terakhir, saya keluar untuk mencoba melihat yang terjadi di stage utama di depan. Oh, ternyata ada sebuah band lawas yang bernama Sucidal Tendencies bersiap untuk perform. Well, sejujurnya saya tak terlalu mengenal band tersebut. Band lama itu sepertinya legend dan punya nama di blantika musik internasional. Itu bisa terlihat dari animo penonton yang membanjiri stage utama, padahal personil band tersebut belum muncul di panggung. Setelah muncul penonton mulai rusuh mengiringi jenis musik band asal California tersebut. Dan jenis musiknya, harus saya akui bahwa jenis musik crossover metal tersebut (begitulah sebutannya) ga masuk di telinga saya haha. Saya penggemar semua jenis musik, tapi jenis musik yang seperti teriak-teriak itu saya sepertinya ga bisa menikmati, hehe. Mungkin Slipknot dengan teriak-teriaknya masih bisa saya ikuti.. Tapi yang ini meskipun agak mirip Slipknot kok ga masuk ya. Apa mungkin karena usia saya yang telah menua *halah*
Pokoknya Suicidal Tendencies membuat warga JRL 2013 bersuka cita. Mereka menampilkan aksi panggung yang dahsyat yaitu mengajak para penonton untuk naik ke atas panggung. Bukan cuma 1, 2 atau 3 orang, melainkan banyak! Ya, dan para fans yang berhasil menaiki stage langsung bernyanyi dan berpesta bersama vokalis Mike Muir yang berciri khas memakai bandana. Saya ga tahu lagi sisa ceritanya seperti apa, karena saya sudah bergegas masuk ke Dome Stage lagi untuk menonton penampilan sebuah band yang menurut saya berkelas untuk ukuran band Indonesia, yaitu Efek Rumah Kaca. Yap, ERK akan manggung dan saya yang belum pernah melihat langsung performance mereka, berniat sekali untuk menyaksikannya secara langsung. Dan tentu saja, ERK menampilkan kualitas musik yang mumpuni dan berhasil menyedot massa JRL yang cukup banyak. Sebelum tampil penonton ternyata sudah memenuhi hall, ada yang sudah berdiri di bibir panggung dan banyak pula yang masih duduk di lantai. Dan ketika MC mulai announce siapa band yang akan tampil berikutnya, penonton segera berdiri dan menghampiri panggung, dan ERK muncul membawakan lagu-lagu yang cukup akrab terdengar di telinga. Dengan sayatan gitar melengking dan tata cahaya yang apik membuat lagu-lagu ERK yang bernuansa gloomy dan gelap menjadi lebih terasa auranya. Cholil sang vokalis yang tampil dengan menggunakan kemeja tampak menghayati sekali dalam menyanyikan lirik-lirik lagu mereka yang tak jarang diikuti oleh koor penonton. Sayang sekali saya tak sampai selesai menyaksikan ERK mengguncang Ancol, dan tak sampai pula berdendang bersama menyanyikan Kenakalan Remaja Di Era Informatika dan lagu-lagu lain, karena menurut jadwal dan jam di tangan saya, Sixpence None The Richer akan segera tampil.
Well, saya bukan penggemar Sixpence. Dan telah lama band tersebut vakum sehingga saya pun tidak mengetahui lagu-lagu terbaru dan perkembangan musik mereka. Namun sebagai penggemar musik dan pengamat musik amatiran *gaya*, saya ingin melihat penampilan band internasional yang dahulu ngehits abis dengan Kiss Me nya tersebut. Kiss Me itu jaya-jaya nya banget di jaman SMA saya. Dawson’s Creek adalah serial yang pertama kali mempopulerkan lagu tersebut. Belum lagi ketika Freddie Prinze Jr. dengan filmnya She’s All That menggunakan lagu tersebut sebagai soundtrack nya. Dan saya mengharapkan klimaks ketika Sixpence membawakan Kiss Me, atau bahkan There She Goes, atau Don’t Dream It’s Over. Atau malahan saya berharap Leigh Nash sang vokalis membawakan lagu dari single solo album nya yang paling saya suka, I Need To Be Next To You, kalo ga salah dari soundtrack film juga, yaitu Bounce. Ah, saya masih hapal lho ini ga ngeliat Wiki, haha. Kenapa? Karena itu semua muncul di tahun-tahun keemasan saya dulu ketika sekolah, hehe.
Jadi pada intinya, Sixpence mulai tampil dan yang saya masih bingung, kok band macam Sixpence ini diundang ke JRL bisa ya. I mean, come on, memang sih mereka kalo kita lihat di beberapa sumber, genre nya memang rock, pop rock. Namun, saya rasa mereka bukanlah band yang tepat untuk diundang ke JRL. Tapi biarlah, mungkin panpel punya penilaian sendiri. Kita langsung bahas performance nya saja.
Oke, Leigh Nash beberapa kali mengeluh betapa panasnya cuaca Jakarta, dan bagaimana mereka masih kelelahan karena jetlag dan baru sampai beberapa jam sebelum mentas. Dan Nash beralasan bahwa karena alasan itulah mereka tampil agak di bawah standar atau biasa-biasa saja di JRL malam itu. Nash yang tampak sedang hamil membawakan lagu-lagu bertempo pelan agak sedang, dan tentunya penonton yang kebanyakan awam dengan lagu-lagu Sixpence, kecuali Kiss Me, sekali lagi, hanya bisa mengikuti sambil menggoyang-goyangkan kaki, atau mengangkat talenan dan handphone mereka masing-masing untuk memoto dan merekam. Nash yang menggunakan baju dress hijau tampak masih memiliki suara khas, meskipun sound tidak terlalu bagus terdengar. Dan Kiss Me pun mereka bawakan di lagu ketiga, hehe. Saya pikir kan lagu jagoan ditaroh di terakhir. Mungkin Sixpence buru-buru mengeluarkan lagu terkenal mereka karena melihat animo penonton yang adem ayem saja, dan kalo ga dikeluarin lagu yang mereka tahu, akan bubar lama-lama, hehe.
Radio, dari album baru mereka yang saya cukup tahu juga dibawakan. Dan There She Goes ditempatkan di urutan agak belakangan. Well, saya agak menyayangkan penampilan Sixpence yang minim apresiasi. Saya pikir kalau dibuat parameter penilaian, Sixpence yang tampil di JRL 2013 bisa dibilang agak mengalami kegagalan. Hingga mereka menyanyikan lagu terakhir pun, saya sudah berada di stage sebelah. Menantikan Ed Rolland dan Collective Soul. Dan saya hanya bisa melihat salam perpisahan Nash dan kawan-kawan dari layar besar sebelah panggung. Tak ada Don’t Dream It’s Over atau Need To Be Next To You yang dibawakan.
Oke tak apa, karena Collective Soul sebagai pemuncak JRL 2013 hari pertama akan bersiap tampil. Meskipun tidak sepenuh orang mengantri penampilan artis di JRL-JRL sebelumnya, namun band jadul yang album the best of nya saya gemari hingga kini tersebut ternyata tampil dengan kekuatan penuh dengan hits-hits nya yang berkekuatan penuh pula (kecuali Perfect Day) dan overall penampilan mereka cadas! Pertama kali Ed muncul dengan menggunakan jubah berwarna putih, so classy dan elegan. Menggebrak dengan hits pembuka, yaitu soundtrack dari Twilight, Tremble For My Beloved, Collective Soul ditemani tata lampu yang megah dan membuat pertunjukan semakin gemerlap. Ed yang semakin menua tidak kelihatan lelah dalam menjelajahi panggung dan meskipun lengkingan suaranya agak kurang seperti dulu, namun karakter suara dalam dan berat tak pernah hilang.
Beberapa saat penonton masih terdiam, entah takjub atau tak tahu lagu atau lupa lirik dari lagu-lagu yang dibawakan, sementara lagu-lagu di album the best 7 Year Itch mulai dihadirkan satu persatu membuat saya bergoyang sendiri, dan bule di belakang saya juga sepertinya mengikuti dengan baik. Memang bule memiliki sense of music lebih baik sedikit dari orang Indonesia yang kebanyakan mementingkan dokumentasi dan narsisme, hehe.
Kemudian berturut-turut Heavy, Listen, December dan Gel dibawakan dan sontak gemuruh mewarnai tanah Pantai Carnaval malam itu. December sebagai salah satu lagu galau tapi gagah milik Collective Soul kemudian sempat menguras emosi para penonton. Setelah koor December, kemudian lagu yang sedikit menghentak, Gel, dibawakan. Gel sempat membuat saya dan audience yang lain lompat-lompat dan agak mengeluarkan peluh sedikit (buat pemanasan, hehe). Dan setelah Gel, Ed tampaknya ingin sedikit slow down dengan She Said. Dibawakan dengan sedikit berakustik ria, lagu ballad ini masih memiliki power dan membuat saya ikut bernyanyi, meskipun agak sedikit di twist di irama reffrain oleh Ed dan kalo yang ga biasa memandang agak sedikit aneh jadi iramanya, namun tetap asik didengar dan dinikmati. Setelahnya, tempo dinaikkan kembali dengan Why Pt. 2. Lagu yang entah kenapa diberi titel “bagian kedua” ini memang asik buat lompat-lompat. Dengan irama heavy rock yang kencang dengan distorsi gitar di intro yang menjadi ciri khasnya, lagu ini sempat mendapat apresiasi cukup meriah dari penonton bagian depan yang histeris dan lompat-lompat seperti layaknya di Woodstock. Why Pt. 2 sukses menjadi lagu yang menghebohkan untuk kemudian disusul dengan Where The River Flows.
Dengan nuansa merah dari tata lampu dan lengkingan vokal Ed yang masih bertaji, lagu ini cukup membuat Pantai Carnaval gerah. Tak berapa lama setelah dibuat ‘panas’, lagu selanjutnya sangat menyejukkan, apalagi kalau bukan Compliments, disusul dengan Needs. Setelah lagu selanjutnya, Hollywood dan Better Now dibawakan, tibalah giliran Run. Soundtrack Varsity Blues tersebut dibawakan dengan versi akustik yang membuat seluruh penonton bernyanyi. Woy, ini lagu jaman gw SMP haha. Setelah puas bernyanyi bersama Run, setlist beralih ke lagu selanjutnya, dan ini adalah lagu favorit saya juga, Precious Declaration! Haha.. Lagu yang menurut saya menjadi lagu paling enerjik dari Collective Soul ini dibawakan dengan apik dan tata lampu yang bagus. Hal ini membuat Ed terlihat bersemangat sekali dan penonton pun mulai terbakar kembali semangatnya.
Setelah itu, The World I Know dibawakan, dan selesailah sudah. Collective Soul menghilang ke backstage, seakan semuanya usai. Namun, it’s part of the show dan kita tahu itu adalah pancingan agar semua penonton berteriak encore. Dan ketika encore encore sudah mulai dikumandangkan, lagu yang hadir sebagai pembuka adalah Counting The Days, untuk kemudian ditutup dengan, well apalagi kalau bukan, Shine.
Shine yang menjadi lagu penutup benar-benar menjadi klimaks. Saya sendiri sebagai “pelanggan” setia Java Rockin’land dari tahun 2009 baru kali ini merasakan atmosfir encore dengan lagu penutup semacam Shine. Lagu yang menjadi icon lagu rock di tahun 90-an tersebut benar-benar membius seluruh penonton yang hadir di malam itu. Ed pun nampak santai membawakan lagu tersebut dengan memainkan intro nya dengan gitar akustik terlebih dahulu, untuk kemudian disambut gerungan rhythm dan hentakan drum. Intro yang familiar itu pun akhirnya terdengar juga hingga ke langit Jakarta, dan kami semua bernyanyi dan berteriak “YEAH!” bersama-sama. Tak lupa dengan lirik “Heaven let your light shine down” yang menjadi hymne kebangsaan musik rock di generasi nya. Konser yang menarik, baik dan enerjik dari Collective Soul. Setelahnya mereka berpamitan dan kami semua, well saya tepatnya, pulang dengan perasaan puas dan telinga agak penging haha.. Karena posisi saya ketika nonton tepat berada di sebelah speaker besar panggung, hehe. Saya pulang, tidur dan bersiap untuk JRL hari kedua.
Day 2 (23 June).
Hari kedua, diwarnai dengan beberapa performance dari band Indonesia yang kebetulan saya suka dan memang saya tunggu penampilannya. Meskipun band Indonesia kata orang kebanyakan adalah “biasa”, tapi bagi saya menonton penampilan langsung mereka menjadi kepuasan tersendiri yang tidak ternilai. Memang cukup hanya 2 sampai 3 kali saya menonton mereka tampil, sekedar untuk merasakan aura performance mereka dan mendapat values “oh saya sudah pernah liat penampilan live mereka”, namun pada festival semacam ini dimana kita telah membayar untuk melihat mereka tampil, setiap performance yang ada wajib dinikmati.
Hari telah sore ketika saya datang dan yang sedang berada di atas panggung adalah Pas Band. Seperti biasa, band yang telah memiliki nama besar dan basis massa sendiri ini atraktif mengguncang panggung dibawah sinar matahari (masih) sore yang cerah. Yuki sebagai vokalis yang dikenal komunikatif sangat menyenangkan, membuat jarak Pas Band dengan penonton menjadi lebih dekat. Lagu-lagu mereka pun dibawakan dengan apik. Kesepian Kita menjadi lagu yang membuat semua penonton bernyanyi. Dan lagu andalan saya dikala mereka manggung, Jengah, menjadi momen puncak kepuasan saya terhadap grub band asal Kota Kembang itu. Pas tampil sebagai pembuka yang enerjik dan cukup memanaskan suasana, hingga akhirnya band yang saya tunggu-tunggu penampilannya hari itu bersiap tampil di panggung sebelah, yang ukurannya lebih besar.
Armand Maulana dan kawan-kawan, atau yang lebih dikenal dengan GIGI memang seyogyanya tampil sore menjelang maghrib di stage utama tempat artis-artis prime time tampil nanti malam. Well, meskipun telah beberapa kali melihat GIGI live, dan tentunya sudah tidak asing lagi dengan penampilan mereka, namun penampilan 4 orang yang menjadi band favorit saya itu tetap sayang untuk dilewatkan. Kekuatan utama GIGI yang tidak membuat orang bosan adalah aksi panggung Armand yang sama sekali tidak monoton. Gaya komunikasi Armand pun menyenangkan, dan menurut saya menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia. Skill para pemainnya juga mumpuni, dan yang terpenting adalah GIGI selalu membawakan lagu-lagu mereka dengan aransemen berbeda setiap manggungnya. Masih ingat dalam ingatan ketika mereka menjadi band jazz saat tampil di Java Jazz beberapa tahun silam. Dan perform di festival rock macam JRL mungkin seakan membawa kembali mereka ke habitatnya. Armand, Dewa Budjana, Thomas dan Hendy masing-masing memiliki skill di atas rata-rata, dan itu yang membuat GIGI selalu dinanti penggemarnya, termasuk saya.
Hampir 1 jam lamanya sing along, menikmati “konser mini” GIGI. Tidak ada yang berubah, set list berisi lagu-lagu yang itu-itu saja. Diantara sekian banyak lagu GIGI yang saya tahu, jarang saya menemukan lagu-lagu “asing” yang biasanya hanya terdengar dari kaset-kaset GIGI yang saya koleksi. Memang berbeda ketika kita memilih lagu-lagu yang akan dibawakan secara live, tentunya harus lebih menjual. Bila kita ingin membawakan lagu-lagu baru pun yang orang belum banyak tahu, itu hanya terjadi biasanya di konser promo album. Intiya, GIGI tampil hingga maghrib tiba. Armand seperti biasa, rocks!
Setelah selesai sholat maghrib, saya kembali memasuki arena dan memburu band yang ingin saya lihat selanjutnya. Jadwal menunjukkan bahwa saat itu sedang berada di salah satu stage, band yang juga menjadi kesukaan saya, /rif. Ketika saya sampai, Andy dan rekan-rekannya tengah membawakan suatu lagu. Seperti biasa, performa /rif mencengangkan dan menjadi salah satu yang terbaik. Yang saya suka dari /rif adalah pemilihan kostum mereka setiap kali live. Dan bicara skill juga tidak salah tempat. Magi sang drummer masih menjadi salah satu yang teratraktif, dan Jikun sebagai “twenk-twenker” (saya ingat istilah itu didapat dalam lembar kaset album /rif yang bertitel Nikmati Aja), kerap mengingatkan saya pada sosok Slash (secara dandanan, minimal).
Meskipun /rif telah beberapa kali mengganti personil mereka, tidak ada lagi Iwan sang bassis yang tambun dan kocak, namun mereka tidak kehilangan tajinya. Denny yang dulu lebih kalem telah tiada dan penggantinya, Ovy, menurut saya sungguh cadas. Ovy menjadi sosok yang menyeramkan di atas panggung dengan dandanannya yang mirip dengan personil Marilyn Manson atau Guns N’ Roses era masa kini. Dan Andy sebagai frontman juga makin matang kualitas suaranya. /rif, sudah tidak ada sanggahan lagi mengenai bagaimana mereka mentransfer lagu-lagu yang dibawakan ke telinga dan visual penonton.
Kalau tidak salah saat /rif manggung juga hadir Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo. Jokowi datang menonton dan saya tahunya ketika Andy berteriak “Selamat datang Pak Gubernur”. Oke, sekedar selingan, sudah 2 kali saya menonton konser bersama Jokowi. Yang pertama JRL ini dan yang kedua saat Metallica hadir di GBK. Dan rasanya? Biasa saja sih, wong Pak Jokowi juga jauh dari tempat saya berdiri, hehe. Dulu sempat punya pikiran ketika ada seorang Gubernur yang gemar menonton musik rock, apakah suatu saat bisa sebelahan di kerumunan crowd? Well, agak naif juga mengingat pasti Gubernur nonton pun dikelilingi ajudannya. Oke, skip andai-andainya. Yang jelas penampilan /rif ketika itu seperti biasa, awesome. Dan menariknya, /rif hadir dengan setlist yang agak tidak umum seperti biasanya. Beberapa lagu cover dibawakan mereka, bukan hanya hits-hits standar. Hal ini menjadi menarik karena sebagai penonton, kami jadi tidak bosan. Tapi memang beberapa lagu andalan dibawakan, seperti Radja, dan Loe Toe Ye pasti hadir sebagai penutup, dan lagu favorit saya, Jeni!
Sekitar 1 jam waktu yang diberikan bagi barudak-barudak Bandung itu untuk mengguncang stage dan mereka seperti biasa melakukannya dengan “berkelas”. Penampilan apik dari Andy dan kawan-kawan memang seakan sudah biasa, namun juga kita tidak bosan dibuatnya. Dan setelah kelar menyaksikan Andy dan kawan-kawan, tibalah untuk melihat schedule selanjutnya dan terlihat Musikimia, band jelmaan Padi yang saya puja-puja akan manggung di Dome Stage pukul 21.00. Karena masih ada sekitar 1 jam lagi berselang, maka saya memutuskan untuk menghadiri penampilan Endah N’ Rhesa. Well, saya bukan penggemar mereka, namun musik yang dibawakan 2 orang ini bagus. Dan ketika saya datang ke stage, mereka masih check sound dan konsep tata panggung yang dibawakan adalah santai dimana banyak audience yang duduk di bawah pohon dan ngampar saja begitu di tanah, yang pacaran ya pacaran yang nongkrong sama teman-temannya juga bisa, hehe. Tidak lama kemudian saya segera ke Dome karena Musikimia akan segera memulai pertunjukan.
Agak aneh sekaligus senang, juga takjub melihat Fadly dan kawan-kawan setelah sekian lama. Dan yang menyedihkan adalah sang pemain gitar bukanlah orang yang selama ini membuat musik Padi begitu terkenal ke seantero Indonesia. Yup, bukanlah Piyu yang menyayat Les Paul namun saat ini (harusnya) Stephan Santoso, yang biasanya berada di balik layar kini menjadi gitaris Musikimia. Kenapa harusnya karena saat itu pula yang berada di stage adalah additional player karena Stephan berhalangan hadir.
Musikimia adalah project dari para personil Padi (minus Piyu dan Ari) untuk mengisi kekosongan, atau mungkin upaya membuat dapur mereka tetap mengebul. Padi yang entah bagaimana rimbanya kini memang meninggalkan banyak fans, dan Musikimia sebagai Padi kawe membuat para fans (termasuk saya) penasaran. Namun jangan menyamakan Musikimia dengan Padi karena mereka mencoba konsep baru yang pastinya berbeda dengan Padi. Musikimia hadir dengan membawakan lagu-lagu bertema perjuangan dan cinta Tanah Air (saya juga kurang paham maksud di balik ini), tetap dengan nuansa rock. Dan satu yang mengejutkan adalah ketika mereka membawakan Bidadari, single pertama di album pertama Padi, Lain Dunia, yang benar-benar mengejutkan kita semua. Sesaat terasa Padi yang perform di depan saya dan memunculkan kembali kenangan-kenangan lama juga histeria. Well apapun itu, semoga masih ada kemungkinan para Sobat Padi bisa melihat kembali band pujaan mereka berkiprah di blantika musik Indonesia. Meskipun bila dilihat kini, kemungkinan itu terasa menjauh kembali (setelah sempat dekat karena Yoyo telah lama sembuh), namun ditangkapnya Ari juga karena kasus narkoba kembali mengecilkan harapan para Sobat. Yasudahlah, sukses buat sisa personil Padi yang masih bertahan dengan project Musikimia mereka.
Sekitar 1 jam Musikimia tampil, saya segera mengingatkan diri bahwa akan ada artis Internasional utama yang bakal perform di main stage. Mereka adalah Sugar Ray. Well saya sama sekali bukan penggemar Sugar Ray, namun band yang dulunya pernah mewarnai masa-masa sekolah saya dengan lagu-lagunya yang cukup terkenal seperti Every Morning, Someday, dan When It’s Over itu adalah performer utama di JRL hari kedua ini. Saya yakin pun bahwa kebanyakan massa yang berkerumun depan panggung juga bukan merupakan fans mereka, terkecuali mereka yang memang menjadi anak 90-an seperti saya hehe.
Sugar Ray terkenal dengan vokalisnya yang mentereng dan banyak gaya, atraktif, lincah dan juga lucu bernama Mark McGrath. Kalau bukan Mark yang menjadi frontman, tentunya Sugar Ray akan garing. Dan Mark benar-benar mampu membawa suasana menjadi hidup dengan banyolan-banyolannya sepanjang performance. Saya masih ingat dulu Mark benar-benar menjadi sorotan di Sugar Ray. Kalau ga salah sempat main film juga dia. Dan malam itu kelucuan Mark timbul lagi dan yang paling saya ingat adalah ketika ia mengomentari stage sebelah yang sedang memainkan lagu-lagu death metal dengan suara vokalisnya yang menggeram, haha. Malam itu pula Sugar Ray membawakan hampir semua lagu-lagu hitsnya dan yang paling bikin penonton bergoyang ya lagu-lagu standar mereka yang terkenal macam Every Morning dan Someday. Oh ya, saya suka Falls Apart. Overall penampilan Mark dkk standar saja dan nilai plus datang dari usaha Mark yang coba lebih menghidupkan panggung.
Ada satu insiden dimana gitaris mereka throw up di tengah pertunjukan, katanya sih karena kepanasan manggung di Jakarta, haha. Memang bagi orang bule panas banget ya main outdoor di Jakarta? Kemarin juga vokalis Sixpence mengeluh kepanasan. Welcome to the jungle kalau begitu. Oh ya, kejadian gitaris Sugar Ray muntah juga seperti menjadi show tersendiri dan cukup membuat penonton riuh hehe.
Sekitar satu setengah jam Sugar Ray manggung dan akhirnya selesai pula, saya langsung melihat jadwal dan menemukan Andra & The Backbone yang sudah tampil di Dome Stage. Wow, saya belum pernah pernah melihat langsung penampilan mereka, jadi saya putuskan untuk mengejar aksi panggung mereka namun sayangnya ketika saya sampai, mereka telah membawakan lagu terakhir. Ah sial, haha. Lain kali saya akan menonton aksi panggung band salah satu pentolan Dewa 19 tersebut.
Malam telah larut dan saya putuskan untuk pulang. Penilaian saya terhadap 2 hari perhelatan Java Rockin Land kali ini, festival yang telah saya ikuti penyelenggaraannya dari awal pertama kali mereka berlangsung (tahun 2009) adalah, memang harus diakui bahwa festival kali ini mengalami penurunan. Dapat kita lihat dari berkurangnya hari, dari yang biasanya 3 hari menjadi hanya 2, hal ini berimbas pada berkurangnya jumlah artis lokal dan internasional yang berpartisipasi. Dan sayangnya pula, nama-nama beken juga menjadi redup. Mungkin memang agak susah mencari nama yang sedang tenar kekinian untuk ikut serta (30 Seconds To Mars adalah satu yang beruntung bisa dihadirkan). Namun tidak apa mengundang nama beken yang sudah tidak lagi memiliki jamannya (dalam artian band lawas), tapi kami para pecinta rock tentunya mengharap lebih dari “sekedar” Collective Soul maupun Sugar Ray. Meskipun bagi saya Collective Soul adalah band besar, saya pun mengharap band-band macam Pearl Jam dan lainnya turut hadir (mari kita aminkan).
Hal ini mungkin disebabkan akibat tertundanya gelaran JRL tahun 2012 lalu, dimana saat itu pihak panitia penyelenggara sempat mengundang beberapa nama yang kurang greget dan tak lama kemudian mereka menyatakan membatalkan acara. Band-band yang kurang terkenal tentunya membuat tiket kurang laku dan hal ini yang harusnya disadari pihak penyelenggara. Bahkan mereka coba “membungkus” JRL yang gagal itu dengan mencampurkannya ke festival musik lain (musik soul atau apa gitu saya lupa). Jadi ada satu festival dimana ada musik rock dan musik jenis lainnya. What the..??
Sebagai seorang penggemar musik rock tentunya saya (dan penggemar lain) merasa kecewa. Kami mau pagelaran rock murni dengan band-band rock betulan. Bukan band yang “di rock-rock-an”. Dan tentunya sebagai pembeli tiket untuk suatu pertunjukan yang kami anggap tepat dan berkelas, kami juga tak akan segan mengeluarkan uang bila band yang dihadirkan benar-benar sesuai. Ambil contoh The Smashing Pumpkins ataupun Mr. Big juga Third Eye Blind (sayang saya tidak menontonnya) yang hadir di 2009 silam.
Demikian review saya kali ini yang lama dan berdebu tersimpan di draft, haha. Thanks for the attention and keep rockin’ on!
Image from Google