Category Archives: Movies

Meet the new Joker.. (Suicide Squad Review)

IMG_2712

Bercerita tentang suatu kelompok pemerintah yang merencanakan sebuah misi rahasia. Lalu mereka mengumpulkan penjahat-penjahat kelas atas yang dikurung untuk menjalankan misi tersebut. Deadshot, Harley Quinn, Joker, Captain Boomerang, Enchantress, Killer Croc, El Diablo dan lainnya berusaha menjalankan misi tersebut dibawah arahan Rick Flag dan Amanda Waller.

Selanjutnya, anda pasti sudah banyak mengetahui. Film yang gembar gembornya sudah diluncurkan lewat dari 1 tahun lalu itu merupakan adaptasi dari komik terbitan DC Comics, yang bisa kita anggap sebagai “saingan” Marvel. Dan pada dunia film komik, DC yang telah ketinggalan beberapa langkah dari Marvel yang sepertinya lebih sukses menghasilkan film-film adaptasi komik berkualitas mulai mencoba menancapkan kukunya di hati penggemar film komik. Seperti kita lihat sudah ada beberapa plan film yang akan dikeluarkan DC hingga beberapa tahun ke depan dan Suicide Squad menjadi salah satunya tahun ini.

Ada beberapa hal menarik yang bisa saya amati dari film ini sebelum penayangannya. Pertama, tentu saja kehadiran Joker dan bagaimana Jared Leto bisa atau tidak menandingi kharisma Heath Ledger sebagai Joker “lama” di The Dark Knight yang fenomenal itu. Kedua, apakah film ini bisa memenuhi ekspektasi para penggemar (dan/atau bukan penggemar) film atau film komik secara khusus. Ketiga, saya agak penasaran dengan kemunculan tokoh-tokoh DC lainnya di film ini, yang paling utama tentunya Batman. Dan keempat, bagaimana penampilan para cast di film ini karena menurut saya pribadi, dengan banyaknya tokoh-tokoh penjahat disini apakah masing-masing memiliki peran yang seimbang, atau minimal berarti atau ada “gunanya”, atau cuma numpang lewat saja.

Dan mari kita coba bahas satu persatu.

Pertama, Jared Leto sebagai The Joker. Yang saya bisa katakan adalah, HE DID GREAT. Betapa saya tercengang dengan penampilan Joker yang “baru” ini. Kita tak bisa menyamakan Joker yang ini dengan Joker-nya Ledger atau Joker tua nya Jack Nicholson. Joker yang ini lebih sangar, berandal, lebih menyeramkan, dan.. Argh, saya benci kenapa David Ayer kurang banyak menampilkan durasi Joker disini! Dia tampil tidak dalam part yang banyak dan hanya beberapa kali melakukan adegan atau pembicaraan yang kami semua butuhkan. Dan setiap Joker ini tampil, saya selalu tercengang. Leto memang gila. Ini bukan Joker The Dark Knight yang psychotic, ini Joker yang beringas. Dan apabila memang benar Joker Leto ini menjadi lawan Batman-nya Ben Affleck di film stand alone Batman berikutnya, maka perlu kita nantikan apakah Leto mampu melewati penampilan hampir sempurna Ledger sebelumnya.

Dan chemistry Leto dengan Margot Robbie sebagai Harley Quinn, awesome! Akhirnya menjadi kenyataan bagaimana Joker dengan Harley saling merindukan satu sama lain dan melakukan hal-hal gila. Dan setelah melihat mereka musnah lah sudah anggapan chemistry terbaik hanya ada pada Rangga dan Cinta. We want more, Ayer! Segera lah buat film stand alone Joker & Harley Quinn. Yang kurang dari penampilan Leto hanyalah dia nampak lebih kecil untuk menjadi Joker. Posturnya kurang besar layaknya Ledger. Ah, mungkin ini hanya karena saya telah lama terbius sosok Joker Ledger. Sudahlah, anda juga bagus kok Leto.

Kedua, sepertinya untuk ekspektasi, menjadi beragam. Sebelum film ini tayang ada yang memprediksi film ini akan gagal, tidak sebagus yang diharapkan, atau bahkan para die hard (DC) comic movie yang selalu menganggap film keluaran mereka bagus, apa juga akan kecewa. Dan bila ditanyakan kepada saya yang menggemari film komik (namun bukan die hard DC ataupun Marvel), saya akan jawab bahwa film ini tidak terlalu bagus. Yup, awalnya mungkin saya antusias dan tensi mulai terbangun dengan cepat ketika Waller (Viola Davis) mempresentasikan para penjahat di hadapan petinggi-petinggi militer, beserta latar belakang dan kemampuan mereka. Namun di pertengahan hingga akhir film, menjadi membosankan dan kurang kuat dalam penceritaan, seakan hanya “tempelan” saja dan bagaimana mereka semua bisa menaklukan musuh di akhir laga. Saya tidak pandai berbahasa film atau menggurui, namun bisa saya katakan Ayer gagal dalam mempertahankan irama atau plot film ini. Dan setelah selesai film saya bisa bilang “kok begini amat sih akhirannya”. Ya begitulah.

Ketiga, kemunculan para penjahat juga sepertinya ada beberapa yang kurang begitu berfaedah kemunculannya di film ini. Well, memang apa yang kita harapkan? Dalam 2 jam kurang semua harus memiliki peran yang berarti? Itu mah di film sendiri-sendiri saja. Yup, hal itu bisa dimaklumi dan dimaafkan kalau begitu. Dan Batman? Dia tampil cukup berarti meskipun bisa dibilang hanya cameo. Dan membuat saya beranggapan bahwa Ben Affleck semakin cocok dengan peran Bruce Wayne atau manusia bertopeng setengah ini. Memang agak mengingatkan saya pada Batman lawak nya George Clooney sedikit haha.

Eh maaf, itu lebih cocok untuk bahasan keempat. Ketiga, banyak kemunculan tokoh-tokoh DC lain di film ini, dan sepertinya Suicide Squad memang dibuat untuk pemanasan Justice League. Jadi, nantikan saja kemunculan metahumans lainnya dan jangan beranjak ketika credit title sedang diputar. Akan ada “bocoran” untuk proyek DC selanjutnya. Bukan di after credits. I repeat, tidak ada di after credits seperti layaknya Marvel. Mungkin DC tidak mau meniru, haha.

Demikian ulasan singkat saya, dan subjektif sifatnya. Overall, film ini diselamatkan oleh kehadiran Joker. Dan Margot Robbie sebagai Harley Quinn? Tidak usah diragukan lagi. She was HOT! Oh ya, soundtrack atau lagu-lagu tema di sepanjang film juga bagus-bagus. Ada The Real Slim Shady, Bohemian Rhapsody, Grace yang menyanyikan You Don’t Own Me (ini saya suka sekali lagunya) atau bahkan Twenty One Pilots yang lagunya lama-lama enak juga.

Tagged , , , , , , ,

Sabtu Bersama Bapak movie (The Review)

IMG_3162

Selang beberapa lama setelah saya diberitahu seorang teman bahwa ada novel bagus bertema ayah (ya, saya memang se-baper itu bila ada bacaan atau segala hal yang berkaitan dengan ayah), maka saya segera membeli novelnya dengan melihat pengarangnya bertuliskan: Adhitya Mulya.

Sebelumnya saya mengetahui Adhitya Mulya dari beberapa teman pembaca novel. Saya juga tahu bahwa Adhitya Mulya pernah bermain Multiply, situs blogging yang dulu sempat menjadi wadah saya menulis. Ya, hanya itu. Meskipun hanya bermodalkan itu saja tidak mengurungkan niat saya untuk membeli novel yang menurut saya tidak terlalu tebal itu. Dan bagi saya setelah membaca, Sabtu Bersama Bapak adalah bacaan yang ringan, aktual, hangat, bisa dirasakan hampir semua orang, dan menyentuh.

Berbicara tentang menyentuh, adalah subjektif bila kita memandang dari sisi mana suatu novel dikatakan bagus dan menyentuh bagi kita. Ada beberapa faktor diantaranya, mungkin novel itu mampu membawa pembaca larut dalam cerita, suasana yang dalam dan hangat, pemilihan kata-kata yang tepat dan enak dibaca, alur cerita yang enak diikuti termasuk twist cerita, atau yang terakhir, dan ini yang paling mudah membawa hanyut pembaca, adalah kemiripan cerita dengan kehidupan pribadi kita. Tidak harus sama persis, namun mirip-mirip sekalipun sudah mampu membawa kita larut dalam cerita. Dan perihal terakhir itulah yang menjadi alasan saya menjadikan novel Sabtu Bersama Bapak sebagai novel (dan pada akhirnya film) yang menurut saya bagus dan sangat menyentuh.

Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan novelnya, dan review positif saya beralasan karena novel ini memiliki cerita yang tidak biasa. Bagaimana kehidupan sebuah keluarga kecil dengan 2 orang anak tanpa kehadiran dan bimbingan seorang ayah secara fisik, namun tetap bertahan karena sang ayah telah menyiapkan nasihat  dan pesan-pesan kehidupan yang direkam lewat video sebelum sang ayah meninggal dunia, yang diputar setiap hari Sabtu oleh keluarga tersebut.

Bagaimana kedua anak tersebut menghadapi permasalahan hidup yang berbeda, Satya si anak pertama dengan kehidupan rumah tangganya dan Saka si bungsu dengan perjuangan mencari pendamping hidup. Banyak orang dan teman-teman saya terharu membaca novelnya, bahkan mereka sampai meneteskan air mata hanya dalam hitungan beberapa lembar awal novel. Namun entah kenapa itu tidak terjadi pada saya. Memang sedih dan mengharukan, namun tidak sampai bikin nangis. Malah pada akhir-akhir cerita saya menganggap novel itu telah melenceng alur ceritanya menjadi novel cinta (karena cerita pencarian jodoh Saka menjadi sesuatu yang “cheesy”), karena pada awalnya saya telah larut dalam romantisme kerinduan akan sosok seorang ayah. Meskipun saya segera menyadari bahwa bumbu cinta dibutuhkan dalam novel itu agar lebih menarik.

Memang tidak salah karena bila hanya bersedih-sedihan tentang ayah tanpa ada senyum atau tawa untuk Saka yang berjuang menemukan jodohnya, Sabtu Bersama Bapak tentunya menjadi novel tragedi atau novel sedih yang tidak menarik. Tapi kembali lagi ke pandangan masing-masing pembaca, dan kisah Saka menemukan jodohnya bisa dibilang menjadi bukti kecerdasan Adhitya Mulya dalam meramu cerita Sabtu Bersama Bapak menjadi unik mengundang gelak tawa, disamping tema kesedihan yang diangkat karena kehilangan ayah. Tapi memang dasar saya yang baperan bila menyangkut ayah, maka fokus saya lebih kepada bagaimana sosok ayah berusaha keras hadir dalam nasihat-nasihat meskipun sang ayah telah berpindah tempat (ini meminjam bahasa yang dipakai di film).

Dan itu yang terjadi ketika film Sabtu Bersama Bapak resmi tayang. Sebelumnya, saya sudah menaruh harap yang tinggi ketika melihat cast-nya: Arifin Putra, Abimana Aryasatya, Ira Wibowo, Acha Septriasa adalah nama-nama yang tak perlu diragukan kapabilitasnya dalam akting. Satu nama masih menjadi tanda tanya, Deva Mahendra. Bagaimana kita biasa melihat Deva dalam komedi situasi, nampaknya masih perlu dibuktikan di sebuah film. Dan bagusnya, Deva berhasil membuktikan itu. Perannya sebagai Saka yang nerd, gila kerja, selalu gagal dalam urusan asmara plus tingkah konyolnya berhasil dibawakan dengan baik. Catatan agak minor justru dibebankan pada Arifin Putra. Selama ini kita melihat Arifin sebagai aktor yang bagus bila memerankan tokoh antagonis dalam beberapa film (yang paling memorable tentunya sebagai anak seorang mafia di The Raid: Berandal). Namun ketika menjadi ayah 2 anak di film ini, Arifin justru tampil agak kurang pas dengan karakter Satya di novel, in my opinion. Arifin terlihat seperti kurang mature dan agak bisa dikatakan “melambai” haha, sedikit melenceng dari bayangan Satya versi saya yang tegas dan berkarakter. Malah disini Arifin harus mengakui aktingnya tidak sebanding dengan Acha yang memerankan sang istri yang penuh perjuangan dan dilematis dalam hidupnya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Oh ya, untuk penampilan kedua putra mereka, saya no comment deh. Saya tidak tahu maksud dari sutradara dan produsernya apa memasang 2 anak tersebut dalam film, hanya sekedar tempelan atau ada maksud lain disamping itu. Penampilan mereka anda nilai sendiri saja.

Sementara itu, Abimana membuktikan dirinya sebagai salah satu aktor paling berbakat di Indonesia dewasa ini. Bagaimana ia berakting dengan Ira Wibowo yang dari segi usia lebih senior, namun ia tidak kalah dan mampu mengejawantahkan sosok ayah yang penuh kasih sayang kepada keluarga. Dan bila kita sudah melihat pula bagaimana ia mencoba menjadi Dono di film Warkop DKI yang akan tayang, kita bisa katakan ia bukan aktor sembarangan, dan totalitas aktingnya tidak perlu dipertanyakan.

Kembali ke film. Filmnya sendiri cukup menggambarkan isi novel dengan baik. Malah saya berpikiran ini adalah salah satu dari sedikit film adaptasi novel yang bisa setara bagus dengan novelnya (atau kalau bisa dibilang lebih baik). Tentunya, hal ini subjektif mengingat saya berpandangan film ini sangat mirip kisahnya dengan saya. Oh ya, penyisipan lagu Iwan Fals berjudul Lagu Cinta saat scene Abimana (ayah) dengan Ira (ibu) adalah juara. Bagaimana kesenduan, tone dan nuansa yang dibangun, dengan alunan merdu lagu tersebut menjadikan scene itu menjadi salah satu yang terbaik dalam film.

Pada akhirnya memang saya menganggap film ini adalah salah satu yang terbaik di tahun ini. Saya menangis, benar-benar menangis dari awal film ini mulai berjalan. Bagaimana saya rindu akan kehadiran sosok ayah, bagaimana saya merasakan menjadi anak yang “mengetahui” bahwa akan ditinggal ayahnya sebentar lagi karena sakit. Bagaimana saya merasakan memiliki ibu yang berjuang sendirian dan bertahan hidup sepeninggal suaminya. Bagaimana saya merasakan rindu akan petuah-petuah ayah dalam segala aspek dan problematika kehidupan. Bagaimana saya merasakan permasalahan hidup dalam masa pencarian seperti yang dialami Saka. Ingin rasanya saya juga memiliki kaset rekaman berisi nasihat ayah yang bisa saya putar, bila saya memerlukan arahan dari setiap masalah hidup yang saya alami.

Semua yang digambarkan begitu nyata dan hadir jelas di pelupuk mata dan memori saya, membuat tak kuasa saya meneteskan air mata (dalam jumlah banyak sampai pipi saya benar-benar basah haha). Ya, saya memang secengeng itu. Apalagi ada scene dimana Satya dan/atau Saka flashback ke belakang, ketika ayah memberi nasihat dalam masalah-masalah mereka. Momen-momen seperti itu membuat saya agak menafikan scene-scene lain seperti saat Saka pedekate dengan Ayu (oh ya, tidak lupa menegaskan kalau Sheila Dara Aisha cantik disitu) membuat saya tidak terlalu tertawa, well, karena memang sebenarnya juga sudah tahu lelucon itu dari novel.

Pada akhirnya, sebuah film akan dikenang dari kesan yang ditimbulkan oleh penonton yang menikmatinya. Dan, untuk Sabtu Bersama Bapak, sahih menjadi film yang saya kenang karena berhasil membuat saya mewek di bioskop (setelah Toy Story 3 beberapa tahun lalu haha).

Sangat sesuai dengan hashtag promosi film ini di Twitter. Ya, saya memang #RinduAyah

Tagged , , , , ,

RoboCop (2014)

Image

Saya ingat betapa saya begitu terpesona dan takjub dengan polisi berbentuk robot ini ketika saya menontonnya di Laser Disc beberapa waktu silam. Dahulu, petualangan superhero salah satu favorit saya ini adalah pengalaman seru ketika menontonnya di piringan obesitas yang kakak saya sewa di tempat penyewaan terdekat. Dengan harga sewa 5 ribu rupiah kala itu, saya bisa membawa pulang film ini untuk kemudian ditonton dengan penuh penghayatan. Aksi yang seru dan tembak-tembakan disertai robot-robot besar yang saling menghancurkan, benar-benar hiburan yang membuat saya sebagai anak kecil tercengang, meskipun kalau dilihat di zaman ini efek yang digunakan di tahun tersebut pasti jadul sekali dan aneh, namun sangat berjaya pada masanya.

Dan belasan tahun kemudian, film ini kembali di remake di era teknologi perfilman masa kini yang serba wah dan mampu menghidupkan fantasi jauh menjadi lebih nyata. Kini, film yang dibintangi Joel Kinnaman dan Michael Keaton itu mampu menyedot animo penonton yang ingin bernostalgia, melihat seperti apa tampilan polisi robot masa kini, atau juga generasi baru yang tidak pernah menonton film lamanya tapi ingin melihat bahwa Detroit juga punya polisi masa depan yang sanggup mengatasi berbagai tindak kriminalitas kota.

RoboCop baru ini menceritakan ketika tahun 2028, kala itu manusia telah mampu mengembangkan teknologi untuk membuat robot yang mampu digunakan sebagai mesin perang. Dan OmniCorp adalah sebuah perusahaan raksasa yang meraup keuntungan besar dari produksi robot-robot tempur yang digunakan oleh pihak militer di berbagai negara. Hanya Amerika yang enggan menggunakan robot dan OmniCorp mengincar Amerika sebagai pasar yang sangat potensial jika negara tersebut bersedia membel robot buatan mereka.

Alex Murphy (Kinnaman), hampir meninggal dengan tubuh hancur akibat ledakan mobilnya, dan OmniCorp menyelamatkan Murphy dan menggunakan teknologi mereka untuk memadukan tubuh hancur Murphy dengan mesin robot yang canggih. Hasilnya, seorang polisi setengah robot yang tangguh dan tak terkalahkan. Pembuatan RoboCop menjadi langkah awal bagi OmniCorp untuk membuat robocop-robocop lainnya dan mengeruk keuntungan milyaran dollar dari produksi tersebut.

Menggabungkan manusia dengan mesin memang sebuah ide brilian, namun mereka lupa memperhitungkan bahwa adanya unsur manusia membuat RoboCop berbeda dengan robot-robot lain dalam hal “kepatuhan”. Sosok kemanusiaan Murphy yang ada dalam tubuh RoboCop adalah sosok yang sangat berdedikasi dalam membasmi kejahatan, hal ini membuat RoboCop tidak bisa diatur seenaknya oleh OmniCorp. Bahkan RoboCop berbalik menentang perusahaan yang membuatnya.

Film ini memang pada awalnya bertema action superhero yang pantas dilihat anak kecil, namun percayalah bahwa beberapa scene di film ini bukan untuk anak-anak dan please, jauhkan anak anda dari bioskop bila ingin melihat film ini. Atau yang ada hanyalah tangisan dan jeritan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, seperti yang saya alami ketika menontonnya. Overall, scene-scene menarik berserakan di film ini diantaranya adalah ketika Murphy “dihidupkan” kembali dan dia melihat tubuhnya yang hanya menyisakan jantung dan paru-paru saja. Emosi yang timbul mengena di penonton, terutama ketika untuk pertama kalinya ia hadir dan bertemu anak istrinya dengan kondisi fisik yang telah menjadi robot yang kaku dan menimbulkan suara elektrik bila sendi-sendinya bergerak.

Kemudian dari sisi aksi, RoboCop hadir menawan dengan aksi senjata juga motor yang sebenarnya tidak terlalu keren, tapi gagah. Yang keren justru evolusi kostum RoboCop dimana dahulu berwarna putih sekarang dirubah menjadi hitam pekat yang menonjolkan sisi elegan dan kuat. Oh ya, jangan sampe anda melewatkan scene ketika sang polisi robot menyerbu markas penjahat orang yang telah mengebomnya. Dimana kemudian para musuh mematikan lampu dan mencoba menembaki RoboCop dan yang terlihat hanya kilatan senjata saja, menurut saya itu keren.

Peran Gary Oldman sebagai Dr. Dennett Norton disini juga krusial. Tak bisa membayangkan bila peran dokter yang merawat dan membuat RoboCop disini tidak diserahkan kepada aktor kawakan tersebut. Oldman mampu menghidupkan suasana di tengah peran aktor-aktor dan aktris lain yang terkesan standar. Oh ya, Abbie Cornish (Clara Murphy) yang berperan sebagai istri Murphy disini mirip banget sama Raisa, haha. Dan Samuel L. Jackson (Pat Novak) juga hadir dengan aktingnya yang konyol sebagai pembaca berita.

Nikmati saja film ini dan hadirkan kembali pengalaman masa kecil anda. Oh ya, robot OmniCorp yang berkaki dua dan menjadi trademark RoboCop jaman dulu masih ada lho, haha (kalo inget suka nongol di video game Nintendo/SEGA), dan backsoundnya, masih tetap sama! Namun satu yang disayangkan, saya lebih terpukau dengan cara mati Murphy jaman dulu dibanding yang sekarang. Yang dulu kan ditembakin dan disiksa tuh, nah kalo sekarang “hanya” kena bom saja, hehe.

Akhir kata, selamat menonton!

(Rate: 3/5)

Tagged , ,

Escape Plan (2013)

escape_plan_ver2

Ray Breslin (Sylvester Stallone) adalah seorang yang ahli dalam bidang keamanan dan pelarian dari berbagai sistem keamanan penjara. Setelah sukses, Ray menerima pekerjaan terakhir untuk menjebol fasilitas penjara yang memiliki tingkat keamanan tertinggi yang disebut The Tomb. Tapi ia ditipu dan akhirnya benar-benar dijebloskan dalam The Tomb, yang membuat ia harus bekerja sama dengan narapidana lainnya yang bernama Emil Rottmayer (Arnold Schwarzenegger). Keduanya akhirnya bahu membahu dan menyiapkan segala sesuatunya demi lolos dari penjara tersebut. Berhasilkah mereka melakukannya?

Sepanjang menonton film ini, saya sembari mikir.. Kapan ya Stallone sama Schwarzenegger pernah bareng main dalam satu film sebelum ini? Googling juga ga nemu. Jadi ini kayaknya film pertama mereka bersama ya? Dan dahsyat sekali mengingat 2 bintang ini adalah bintang paling top dan terkenal di masa jayanya.

Sylvester Stallone adalah bintang action yang paling saya kenal ketika saya masih kecil. Pas Rambo muncul tuh filmnya, saya masih SD udah kenal Stallone. Bahkan generasi kakak saya pun berada di jaman ketika Stallone berjaya lewat Rocky. Dan Arnold? Siapa yang ga kenal doi. Udah puluhan film aksi dia bintangi, dari kecil hingga saya gede. Karirnya sempet agak stop ketika dia menjabat sebagai gubernur, dan kayaknya ini adalah film pertama dia pasca dia udah ga ngejabat lagi sebagai Gubernur California (CMIIW).

Kalo dulu Stallone tenar gegara Rambo – Rocky. Arnold apalagi kalo bukan karena Terminator yang kesohor itu. Memorable role pas doi di Terminator 2: Judgment Day, dan itu benar-benar menginspirasi masa kecil saya. Berminggu-minggu film itu terbayang di kehidupan masa kecil saya, karena Arnold tampil luar biasa disitu. Apalagi pas scene Arnold membawa bunga mawar dan kemudian melepas bungkusnya trus isinya senapan itu, wuidih. Selain Terminator, paling Total Recall yang juga memorable, trus ada True Lies, dan lain sebagainya.

Dulu ga pernah kepikiran mereka main dalam satu film bareng. Sebelum akhirnya hadir film ini. Oh ya, selain judul Escape Plan, film ini juga dikasih judul The Tomb. Mana yang sebenarnya seharusnya dipake ga jadi masalah, yang penting alur cerita dan bagaimana 2 jagoan ini bisa klop.

Stallone seperti biasa, hadir sebagai jagoan utama yang mencoba menggunakan segala cara dan intelegensinya untuk memecahkan rahasia lolos dari penjara yang super canggih sekalipun. Dan Arnold tampil slenge’an dengan janggut lebat yang membuatnya tampil layaknya narapidana beneran, dan kesan sebagai badboy lekat sekali dengan Arnold di film ini. Well dia memang didandani sesangar mungkin karena memang penghuni narapidana di penjara dalam film ini adalah penjahat-penjahat kelas berat. Ada 1 penjahat yang digambarkan sebagai penjahat muslim (mungkin si sutradaranya bermaksud bikin penjahat teroris kali ya), dan kalau kita jeli si penjahat itu adalah aktor yang biasa mainin penjahat ras Arab (Faran Tahir) dan kalo ga salah dia jadi penjahat teroris juga di Iron Man. Dan disini si penjahat Arab (Javed) beberapa kali mengatakan kalimat-kalimat Islami dan juga berakting sholat hehe (no offense). Ga usah dibahas masalah gituannya ya, udah sering juga film asing dibumbui oleh akting-akting islami.

escape

Yang lebih seru dibahas adalah, perpaduan akting Stallone – Schwarzenegger yang apik di film ini. Dua aktor sarat pengalaman tersebut seakan tahu apa yang mereka lakukan. Pada awalnya saya menyangka Arnold akan menjadi lawan dari Stallone disini, dan mereka akan berduel hingga akhir film. Namun ternyata mereka berkolaborasi dalam memecahkan “kode” bagaimana caranya lolos dari penjara tersebut. Baik scene aksi, komunikasi maupun scene yang mengundang gelak tawa mereka lahap habis disini, dan semua seru lagi menyenangkan.

Yang kurang mungkin hanyalah siapa yang menjadi lawan mereka disini. Jim Caviezel (Hobbes) sebagai kepala sipir penjara menakutkan tersebut nampak kurang sangar, dan kalah tongkrongan dari kegagahan duo Stallone – Schwarzenegger. Udah gitu endingnya juga menurut saya bisa dibuat lebih memorable dan wow lagi, ga cuma kayak begitu saja. Kekurangan-kekurangan versi saya tersebut yang sepertinya mengurangi pemberian bintang film ini hehe. Tapi tanpa kekurangan tersebut film ini tetap menarik kok. Mungkin Vinnie Jones sebagai Drake yang menjadi lawan cukup seimbang secara fisik dan kesangaran tampang bagi Stallone.

Dan saya masih ga habis pikir Vinnie Jones dulu “pernah” jadi pemain sepakbola profesional Wimbledon, haha.

Harusnya siapa gitu ya, yang dipasang jadi lawannya Stallone. The Rock misalkan? Ah, sudah terlalu sering Dwayne Johnson. Berantemnya The Rock sama Vin Diesel di Fast and Furious udah yang paling pas sih dari segi lawan seimbang. Hmm, atau bahkan bisa dicoba nih untuk besok-besok kalo mau bikin film lagi, sekuel Escape Plan mungkin.. Stallone yang langsung berduel musuh-musuhan sama Schwarzenegger, hehe.

Oke, itu cuma sekedar saran dan fantasi saya saja. So just enjoy the movie.

Rate: 3/5.

Tagged , , , , ,

Ender’s Game (2013)

Image

Bumi pernah diserang dengan brutal oleh sebuah ras alien yang dijuluki Formic di masa lalu. Korban yang tak terhitung jumlahnya berjatuhan di pihak manusia. Beruntung salah seorang pilot pesawat tempur dengan cerdik dan juga patriotik mengorbankan diri menabrak pesawat induk Formic.

Manusia bisa bernafas lega meski sejenak. Kini manusia bersiap menghadapi potensi serangan balasan yang lebih besar dari para Formic. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengatasinya adalah membidik remaja jenius seperti Andrew “Ender” Wiggin (Asa Butterfield) untuk dijadikan komandan tentara. Remaja yang punya daya imajinasi tinggi dianggap pas sebagai komandan untuk melawan Formic.

Namun bukan perkara gampang bagi Ender untuk bisa memahami bahwa ia secara tak langsung ditunjuk sebagai sang penyelamat umat manusia. Ia yang bermasalah dalam pergaulan tentu bukan kandidat yang pas sebagai komandan perang tertinggi umat manusia. Saat pertama kali masuk sekolah pelatihan perang, ia menjadi korban bullying.

Bagaimana perjalanan Ender dalam memimpin tim melawan Formic? Apakah ia bisa menggunakan talentanya dengan baik untuk kemudian menyelamatkan ras manusia? Bagaimana pula kisah pergaulannya dengan teman-teman setim juga pihak-pihak yang tidak suka dengannya?

Awalnya saya kira film ini adalah film epic yang penuh dengan peperangan spektakuler dengan ledakan di sana sini, dan dengan penampakan alien jahat berbentuk aneh dan beringas yang berniat meluluhlantakkan bumi. Namun ternyata, film ini lebih cerdas dari itu. Film ini lebih mengedepankan unsur-unsur filosofis yang dalam, salah satunya adalah tentang bagaimana seseorang harusnya “memenangi” sebuah pertempuran.

enders-game-tv

Ah, saya jadi ingat kisah nyata mengenai filosofis sepakbola, dimana ada 2 paham yang memandang sebuah “kemenangan” itu. Ada satu pelatih yang sangat mengagungkan keindahan permainan tim. Dalam sepakbola, rakyat dan sejarah tim nasional Brasil sangat mengedepankan keindahan permainan yang disebut “Jogo Bonito”. Kemenangan yang diraih tanpa permainan indah dianggap suatu hal yang disayangkan dan mengecewakan. Namun ada pula pelatih yang lebih mementingkan hasil akhir dibanding keindahan permainan tim. Jose Mourinho salah satunya. Ketika membesut Inter Milan dan Chelsea, terkadang tim tampil mengecewakan dan cenderung bertahan namun efektif dalam memanfaatkan peluang sehingga akhirnya keluar sebagai pemenang.

Kok malah jadi ngomongin sepakbola…

Kembali ke film. Namun bukan berarti ketegangan tidak ada dalam film besutan sutradara Gavin Hood ini. Kisah hidup Ender di dalam pesawat luar angkasa, bagaimana mimpi-mimpi dan masa lalunya juga menjadi warna film ini. Ditambah dengan kehadiran Harrison Ford (Colonel Graff) sebagai orang yang percaya akan kapasitas Ender dalam memimpin tim dan menjadi atasan Ender membuat film ini terasa lebih megah. Saya sempat membayangkan Ford disini menjadi Han Solo tua dalam Star Wars Episode VII yang tayang 2 tahun lagi.

One of a good movie.

Rate: 3/5.

Tagged , ,

Carrie (2013)

carrie_ver3

Ini sebenarnya film yang udah ga asing lagi, terlebih ceritanya. Dan kini di tahun 2013, kembali difilmkan dengan cerita yang hampir atau bahkan sama.

Sependek pengetahuan saya tentang film, Carrie pernah difilmkan pertama kali tahun 1976 dengan titel sama dengan fimnya yang sekarang. Carrie pada saat itu diperankan oleh Sissy Spacek. Dan seingat saya juga, saya pernah nonton film itu dahulu di tv atau di video ya.. Dan memang menyeramkan untuk ukuran anak seusia saya dulu. Oh ya, setelah itu Carrie sempat “dihancurkan” image nya oleh film tahun 1999, The Rage (Carrie 2). Saat itu, saya sedang mengalami masa-masa curiosity yang besar terhadap film (masih inget banget dulu jaman VCD) dan masih nyewa seharga 2.500 rupiah di rental untuk jangka waktu 2 hari. The Rage kalo ga salah menjadi film yang ga jelas dan kehilangan daya magisnya sebagai franchise cewek yang punya kekuatan telekinetis itu.

Dan kini, sutradara Kimberly Peirce coba mengangkat kembali kisah Carrie dengan dunianya lewat akting aktris Chloe Grace Moretz, yang entah kenapa, melihat wajahnya mengingatkan saya akan Avril Lavigne haha. Dan adek Chloe ini (lahir tahun 1997 bok) benar-benar menghadirkan nuansa mistis Carrie di film tersebut. Saya memang belum pernah dengan seksama sekali melihat penampilan Spacek di original Carrie. Tapi untuk masalah penempatan aktris yang memiliki wajah gothic, Chloe pantes lah. Apalagi yang jadi emaknya Julianne Moore, dan dengan dandanan yang asli menyeramkan dengan rambut ga keurus, sudah cukup deh menghadirkan keluarga mistis dengan rumah spooky yang mistis pula.

Carrie (Chloe) adalah seorang gadis pemalu yang diasingkan oleh teman-temannya di sekolah serta “disembunyikan” oleh ibu kandungnya dirumah. Karena perilaku teman-teman serta ibunya yang semakin kelewatan, sesuatu yang sangat mengerikan muncul pada diri Carrie yang pada akhirnya meneror seluruh warga di desa kecil tempat ia tinggal. Kurang lebih begitu deh. Cerita menuju klimaks setelah Carrie yang freak tersebut diajak ke prom night oleh Tommy Ross (Ansel Elgort), idola sekolah. Apa yang terjadi di prom night tersebut? Tonton deh filmnya, hehe.

Cast sudah cukup baik. Cerita, sudah pada tau semua. Apa lagi? Yang tersisa hanyalah duduk manis di kursi bioskop dan nikmati saja alur filmnya, dengan gambar versi kini tentunya. Well, bagi kalian yang sudah pernah menonton sebelumnya dan membandingkan dengan film tahun 70-annya, tentunya hanya akan menjadi pop corn movie dan tak perlu diambil pusing kekurangannya disana sini. Menurut saya, ceritanya lebih ke arah teen movie. Film yang cukup menghibur dengan alur cerita yang cukup menegangkan, namun sayangnya, agak tidak terasa dari awal hingga akhir. Hingga pada akhirnya, tahu-tahu kok sudah habis. Tapi ya beginilah, memang seperti itu filmnya hehe.

Dan pada endingnya, kita hanya bisa melihat kekacauan-kekacauan dari dampak kemarahan Carrie dengan ledak-ledakan, chaos dan orang-orang berlarian. Dan kita juga bisa tahu sejarah Carrie dan keluarganya, ada semua di akhir film. Hingga ketika selesai, kita hanya mendapatkan tagline “You Will (Only) Know Her Name”.

Rate: 2,5/5

Tagged , ,

Gravity (2013)

Image

Yang terlintas di benak saya setelah melihat trailer film ini ketika saya menonton Pacific Rim adalah, film jenis apakah ini? Film yang tak biasa, mengambil setting di luar angkasa. Oke, sampai di sini, masih biasa. Banyak film mengambil setting di luar angkasa.. Seperti misalnya Apollo 13, Alien, dan banyak lagi. Namun, ini berbeda. Ini adalah film tentang kecelakaan di luar angkasa. Dan gambar yang saya lihat tadi begitu indah! Bumi sangat bulat dan besar, dan astronot lengkap dengan space suit nya itu sangat nyata, terombang ambing di ruang hampa udara. Dan yang membuat saya tercengang kembali adalah, scene kecelakaan yang seakan terjadi benar di depan mata.. Pesawat luar angkasa yang meledak, astronot yang lepas pegangan tangannya kemudian melayang jauh di angkasa.. Sungguh membuat saya bergidik ketika membayangkan kalau saja saya yang berada di sana.

Well, setelah membaca beberapa sumber yang menyumpahserapahi film ini dengan berbagai pujian, bahkan ada teman saya yang bilang bahwa dia sampai menangis saking bagusnya, dan menyebut film ini adalah film terbaik dalam 1 dekade terakhir.. Berlebihan? Well penilaian memang subjektif, sampai saya menilai sendiri. Bahkan ada yang ga suka juga kok sama film ini. Dan hal tersebut yang membuat saya amat sangat penasaran untuk (segera) menontonnya. Dan masih menurut berbagai sumber, juga prediksi saya sendiri, IMAX adalah pilihan tepat untuk menikmati pemandangan luar angkasa ini, dan bangku yang pas adalah row H. Dan semua itu saya ikuti, haha.

Hasilnya? Oke pertama-tama saya harus mengatakan, ini bukan sekedar film. Ini adalah suatu pengalaman yang luar biasa, terlebih bagi kalian yang menyukai science fiction, luar angkasa dan semacamnya, ini adalah film yang lebih ke arah pemuasan hasrat akan keindahan luar angkasa. Dan terbukti, saya yang menyukai (walaupun bukan penggemar) luar angkasa dan planet-planet dan astronomi dan semacamnya.. Kadang masih bengong dan mikirin apa yang telah saya tonton. Memikirkan bagaimana rasanya jika saya menjadi astronot dan celaka di atas sana.

gravity-explosion

Kedua, bagi kalian yang memiliki daya imajinasi tinggi, film ini akan membuat anda berkhayal setinggi-tingginya, seandainya anda menjadi astronot macam Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalski (George Clooney), dan bila dihayati lebih jauh lagi, yang kalian rasakan tidak lain hanya ketakjuban dan bulu kuduk yang merinding. Lebay? Ga juga. Ketiga, hmm ini dia. Ternyata bumi itu indah lho. Kita sedang membicarakan bumi sebagai suatu planet ya. Benar-benar indah, apalagi bila dilihat dari luar angkasa. Dan kita cuma segede upil. Ih, menakjubkan.

Mungkin saya sekarang hanya bisa melihat melalui film ini, namun percayalah, anda akan terperangah begitu menyadari kita adalah bagian dari alam semesta. Dan film ini benar-benar menterjemahkan itu semua. Ditambah lagi ada beberapa scene sunrise yang indah sekali. Lalu scene dimana ada kumpulan awan (atau ombak di samudera) yang selama ini hanya kita tahu dari pelajaran geografi di bangku sekolah. Oh jangan lupa amati scene aurora di sebelah kanan atas layar.. Hampir sama dampak merindingnya ketika ikan paus muncul dari dasar laut di Life of Pi (2012).

Selain itu, keheningan luar angkasa yang hampa juga didukung oleh tata suara yang baik oleh Steven Price. Score yang digunakan mewakili kegelisahan dan ketegangan ilmiah di luar angkasa yang gelap gulita. Apalagi ketika Ryan terombang ambing dan menghilang jauh. Atau amati ketika musik sama sekali tidak ada dan yang terdengar hanya desahan nafas. Pokoknya, kita semakin terbawa ketegangan hingga pop corn yang tadinya saya pegang ga jadi masuk-masuk ke mulut karena bengong.

Penampilan Bullock juga menawan di film ini. Dan Clooney juga tampil segar di tengah keheningan luar angkasa dengan jokes-jokes dan musik country nya. Bullock pun seperti jadi mirip Keanu Reeves disini, haha (oke skip, agak absurd juga pas liat Bullock jadi ingetnya Speed jaman dulu). Dan yang kita selama ini sadari bahwa akting Bullock biasa-biasa saja, mungkin karena kebanyakan tampil di komedi romantis, diuji disini. Well anda yang menilai sendiri apakah ia bisa masuk nominasi Oscar tahun ini atau tidak (too early?). Oh ya, pergerakan kamera di film ini juga bagus. Kita kadang diajak untuk masuk ke sudut pandang Ryan ketika mengikat-ikat tali, melepaskan diri dari jeratan tali parasut yang kusut, masuk dan melayang di dalam pesawat luar angkasa, atau bahkan melompat-lompat dari satu pegangan pesawat ke pegangan yang lain. Ah, scene point of view yang saya suka adalah ketika kamera menyorot helm Ryan, semakin dekat hingga ke wajah dan akhirnya masuk ke dalam helm, dan kita bisa melihat semua komponen tanda-tanda penunjuk di dalam helm astronot, macam panel oksigen dan sebagainya. Cool.

M_Id_418149_Gravity

Dan semua ini menjadi breath-taking karena, kita ga akan bisa jatuh ke bawah. Dan kalau anda menonton film ini, anda akan bersyukur bisa jatuh ke bawah haha. Kalo di luar angkasa, ga ada yang namanya jatuh. Bila pegangan terlepas kita hanya berputar-putar dan melayang saja. Jauh entah kemana.. Mungkin ga ada berhentinya. Dan, tidak ada yang bisa mendengar dan menolong kita, bukan? Hehe.

Last words, tontonlah film ini dengan tenang. Kalo saya sih cukup bawa pop corn salty small size satu ditambah air mineral kecil. Matikan segala alat komunikasi, dan berpeganglah hanya pada pop corn anda dan masukan perlahan ke dalam mulut, namun mata anda jangan sampai terlepas dari layar, karena.. Bila mulut anda terlalu melongo ketika merasakan sensasi film ini, pop corn itu pasti akan lama habisnya atau bahkan jatuh ke kursi. Seperti yang berkali-kali saya alami, hehe.

Rate: 5/5

Tagged , ,

[movie review] 9 Summers 10 Autumns

20130613-205640.jpg

Satu film yang sudah saya tonton sejak lama, namun baru bisa ditulis disini. Adalah sebuah film yang diangkat dari novel yang sejujurnya saya mau baca awalnya, tapi setelah menonton filmnya, saya jadi beranggapan tidak perlu untuk membaca bukunya dan tidak tertarik lagi. Well, sebenarnya ide cerita film dan yang diangkat dari novel ini bagus, namun menurut saya tidak terlalu istimewa. Bagus untuk inspirasi dan banyak quotes-quotes menarik bertebaran disini. Seperti misalnya “dunia ini hanyalah untuk orang-orang berani” atau apa lagi ya saya lupa. Oh ya “never let anyone steal your dreams” atau “jangan sampai ada yang mencuri mimpi kamu” kurang lebih begitulah. Dan sepanjang film dipenuhi dengan ekspektasi, apakah setelah saya menonton film ini saya akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa untuk perkembangan jiwa saya, hehe.

Saya coba mengikuti alur dari film ini dengan sabar, awalnya terasa mengasyikkan dan membuat penasaran ketika film coba diceritakan dari awal keadaan pemeran utama (Iwan Setyawan sang pengarang novel) dilahirkan di Batu, kota di Jawa Timur, dan masa kecilnya. Dimana dia menjadi anak lelaki satu-satunya dan seluruh adik-adik dan kakaknya perempuan. Ia diharapkan menjadi penerus ayahnya yang pekerja keras dan mau agar anak lelakinya mengikuti jejak ayahnya yang menjadi supir angkot. Namun apa dikata, Iwan tumbuh menjadi anak yang agak feminim (kalo bisa dibilang demikian) dan sukanya main di dapur. Di satu scene diceritakan Iwan yang ketauan ayahnya sedang main di dapur lalu dihukum ayahnya dengan disiram di kamar mandi (spoiler ga nih ya, hehe).

Yang perlu saya garisbawahi disini adalah penampilan Ihsan Tarore. Ihsan yang merupakan pemenang Indonesian Idol memang sepertinya pantas memerankan tokoh utama di film ini yang setelah saya googling, memang bertubuh kecil dan agak nerd gitu. Well memang saya ga baca novelnya, namun jangan salahkan saya kalo ekspektasi saya tehadap film ini agak diluar dugaan. Saya mengharapkan alur yang cepat, tegang dan intense dan kisah heroik namun ga lebay. Tapi yang saya dapatkan adalah alur yang lambat, cerita yang kemasannya kurang greget dan inspirasi yang biasa-biasa saja.

Yang tak perlu diragukan aktingnya tentu saja Alex Komang yang memerankan tokoh ayah. Disini Alex pun seperti tak banyak mengeluarkan kemampuan aktingnya, karena memang challenge di film ini menurut saya tidak ada apa-apanya bagi seorang Alex Komang. Namun saya agak terharu di bagian agak akhir ketika….. Ah sudahlah nanti dibilang spoiler saya hehe. Pokoknya chemistry antara Alex dengan Ihsan yang pada awalnya kurang terbangun menjadi cukup berasa gitu di bagian dimana sang ayah akhirnya harus membuktikan cintanya pada si anak laki-lakinya yang dulunya sering dimarahi.

Dan endingnya pun yang saya harapkan menjadi sebuah klimaks yang oke, ternyata hanya meninggalkan komentar “yah begini aja toh” bagi yang menontonnya haha. Well begitulah mungkin bagi sebagian orang film ini sangat berarti dan menghibur juga menginspirasi, namun bagi saya hanya sedikit hiburan yang bisa saya tangkap sepanjang satu setengah jam lebih durasi film ini berjalan.

Rate: 2/5

Tagged ,

[movie review] Fast & Furious 6

Image

“Hantam mereka” mungkin itulah yang menjadi objek kepenasaranan (istilah apa ini) dari para penonton Indonesia yang rela berduyun-duyun dan mengantri super panjang untuk film yang satu ini. Dan juga itulah yang menjadi penyebab para pemilik bioskop, XXI atau 21 atau juga Blitzmegaplex memasang film ini di lebih dari 1 studio, yang mengakomodir keinginan kuat para penonton untuk menyaksikan orang yang bilang 2 kata tersebut beradu akting dengan Vin Diesel maupun Paul Walker.

Yes, dialah Joe Taslim. Seorang aktor Indonesia yang juga atlet judo (kalo saya ga salah), yang dapat kesempatan bermain di film besutan sutradara Justin Lin. Well, Joe yang sebelumnya menggemparkan dunia lewat aktingnya di film Indonesia bertaraf internasional The Raid, bersama Iko Uwais, akhirnya bisa kita saksikan ke-go internasionalannya (bahasa apa lagi ini) di Hollywood, dan itu semua jelas membanggakan. Joe bahkan melebihi teman mainnya di The Raid, Iko, yang saat ini baru terdengar gosip saja untuk bermain di Mortal Kombat maupun di filmnya Keanu Reeves, Tai Chi Master (atau Tai Chi Kungfu ya, lupa), hehe.

Dan benar saja, Joe yang saya kira sebelumnya, hanya tampil sebentar alias menjadi penjahat yang sekali mati, ternyata mendapat peran yang banyak sebagai Jah, yaitu teman dari komplotan penjahat pimpinan Shaw, yang menjadi lawan tanding dari kelompok Dominic Toretto dan Brian O’Connor.

Dan Jah juga mendapat kesempatan tanding melawan Han (Sung Kang) dan Roman (Tyrese Gibson) di sebuah subway, dan menang lagi! (ini spoiler bukan ya), dan itu membanggakan sekali. Jah alias Joe menampilkan kemampuan bela dirinya yang ciamik dan seperti yang kita lihat di trailer, dia berhasil menendang Tyrese sampai memecahkan kaca, hehe. Dan Jah juga mendapat part ngomong yang cukup banyak. Ah sudahlah nanti saya spoiler terus, hehe.

Well, cukup membahas Joe alias Jah di film tersebut. Secara keseluruhan film seri ke 6 ini sangat menghibur dan benar-benar saya nikmati, meskipun di beberapa part saya mengantuk, namun overall penampilan dari Dom dan teman-temannya dan komedi-komedi alias banyolan dari Roman cukup membuat terbahak. Dan Gal Gadot, alamak.. Perannya sebagai Giselle di film ini cukup membuat mata saya tak berkedip. Meskipun saya ga terlalu suka perempuan bertubuh kurus, namun pengecualian ada pada Gal Gadot, hehe.

Image

Apalagi ya, ceritanya ya standar.. Dan memang kalau dilihat dari segi cerita biasa saja. Masih berkisah mengenai Dom (Vin Diesel) dan Brian (Paul Walker) yang menggulingkan gembong penjahat di Rio dan meninggalkan awaknya dengan $100 juta, mereka tersebar di seluruh dunia. Namun mereka tidak dapat kembali ke rumah dan hidup selamanya dalam pelarian membuat hidup mereka  tidaklah sempurna. Sementara itu, Hobbs (Dwayne Johnson) melacak organisasi pengendara terampil bayaran yang telah berkendara melewati 12 negara. Satu-satunya cara untuk menghentikan kriminal adalah berlaga di jalan, sehingga Hobbs meminta Dom untuk mengumpulkan tim elit di London dengan imbalan yang tak ternilai harganya.

Hmm, agak aneh ya sinopsisnya, karena saya copas dari cinema 21 haha. Ya pokoknya kalo dari segi cerita, sangat mudah diikuti dan meskipun kalian belum pernah menonton atau lupa dari serial-serial sebelumnya, hal tersebut tak akan mengganggu keasyikan menonton film ini.

Dan yang paling penting adalah, jangan langsung beranjak keluar studio ketika layar mulai gelap dan lampu akan dinyalakan. Karena lampu ga akan dinyalakan dulu dan masih ada 1 scene terakhir. Scene-nya apa? Ya liat aja deh, saya ga mau spoiler, haha.

Rate: 3,5/5

Tagged , , ,

Oz the Great and Powerful (2013)

oz_the_great_and_powerful_ver8

Ini adalah film yang memberikan sensasi luar biasa kepada saya. Bukan hanya karena efek dari film ini yang saya tonton dalam bentuk tiga dimensi, namun memang ceritanya cukup menarik dan mudah diikuti, serta sekali lagi seperti halnya film-film fantasi Hollywood, membawa penonton ke dunia alam mimpi dan imajinasi yang tampak nyata di layar lebar. Terlebih lagi, saya menontonnya di IMAX, bioskop dengan 3D terbesar dan layarnya juga lebih besar dari bioskop biasa, dan sensasi yang dihasilkan tentunya lebih mantap untuk dirasakan.

Saya sendiri sudah lama mendengar kata Oz di dalam sebuah film. Oz-Oz yang pernah saya dengar diantaranya adalah film The Wizard of Oz atau The Wonderful Wizard of Oz, dan sepertinya kalau saya tidak salah memahami, ini ada hubungannya dengan Oz-Oz terdahulu itu, meskipun saya sendiri juga tidak tahu hubungannya itu apa.

Film ini bercerita tentang Oscar Diggs (James Franco) yang merupakan pesulap gadungan dari sirkus keliling di Kansas. Ia adalah pesulap yang memiliki ambisi terhadap popularitas sehingga kadang ia mengesampingkan kasih sayang, persahabatan dan kepercayaan orang lain. Pada suatu ketika Oz melarikan diri dari sirkus keliling tersebut, dan ia mendapat “balasan” dari kelakuannya dengan terombang-ambing dalam balon udara yang berada di lingkaran angin puting beliung. Angin tersebut membawa Oz ke dalam dunia baru dan ia mulai berpetualang di dunia tersebut. Disana ia bertemu penyihir-penyihir cantik yang jahat dan baik, diperankan Rachel Weisz, Mila Kunis dan Michelle Williams. Begitulah secara garis besar ceritanya.

Yang menarik dari film ini adalah awalannya yang hanya membuka separuh layar, mungkin kalau yang tidak tahu dan tidak sabar mengira studio yang memutar film ini rusak atau kecewa karena memang gambarnya hanya segitu. Selain layarnya yang cuma separuh, warnanya juga hanya hitam putih. Barulah, setelah Oz terbang dengan balon terbangnya dan masuk ke dalam lingkaran angin puting beliung dan terombang ambing untuk kemudian mendarat di negeri khayalan Oz, layar bergeser menjadi penuh dan menjadi berwarna, sungguh indah.

Oh ya, film ini juga mudah dimengerti kok, terbukti dari saya yang mengerti percakapan dan alur cerita film meskipun nontonnya ga pake teks bahasa (karena di IMAX ga pake teks), dialognya juga mengalir dan celutukan celutukan dari tokoh-tokohnya yang seperti biasa juga lucu, cukup membuat tertawa terbahak-bahak.

Dan satu lagi, Rachel Weisz di film ini yummy banget *astaga*. Yummy kenapa? Mrs. Weisz makin tua makin menjadi cantiknya, ga hilang seperti saat doi main dulu pertama kali saya liat di The Mummy. Disini ia tampak lebih mature dan dewasa, makin matang dan berisi *halah* Weisz pun dapat saingan berat dari Mila Kunis yang jadi adiknya, tapi sori Mila, saya lebih tertarik sama Mbak Weisz.

Rate (3,5/5)

Tagged , , ,