Who Says You Can’t Go Back, To Make A Memory? (Review of Bon Jovi Live in Jakarta 2015) #latereview

IMG_2890

Saya bukanlah fan berat Bon Jovi. Saya hanya memiliki beberapa album mereka, saya tidak menjadi member fans club nya, ataupun tidak mengoleksi atribut-atribut macam kaos dan sebagainya. Namun masa kecil saya yang lekat dengan musik membuat Bon Jovi akrab juga di telinga. Dulu, bermodalkan album Cross Road (1994) punya kakak saya, mulailah “observasi” musik Bon Jovi, dan saya menemukan fakta bahwa mereka merupakan salah satu band besar dunia. Dan, mendengar mereka akan singgah ke Jakarta tahun ini untuk kedua kalinya, man it’s Bon Jovi. Once again, it’s Bon Jovi coming. Tak sulit bagi saya untuk mengambil keputusan bahwa saya harus menonton salah satu band legend ini.

Berprinsip nonton rock itu lebih enak berdiri daripada duduk, saya segera mengincar tiket festival. Menyadari bahwa saya tidak memiliki atribut yang tepat (terutama kaos) untuk nonton, saya segera pesan online. Effort yang saya rasa pantas demi menonton band yang lagu-lagunya (dahulu) menjadi bahan saya belajar gitar. Bon Jovi masuk ke dalam list Band I Have To See Before I Die versi saya. Melihat kedatangan mereka untuk pertama kalinya tahun ’95 silam saya masih piyik, saya membulatkan tekad harus nonton kali ini.

Langsung saja, waktu konser yang bersamaan dengan hari terakhir kerja dan jam pulang kantor membuat kondisi lalu lintas lebih macet dari pengalaman dulu Metallica (Minggu). Saya yang sampai di venue menjelang maghrib bertemu dengan kumpulan orang berkaus hitam yang memadati stadion. Saya kemudian segera mengantri dan memasuki area stadion yang belum terlalu ramai. Sekitar jam 7 mulai ada announcement mengenai do’s and don’ts konser dan penonton mulai riuh. Namun bersamaan dengan itu pula saat-saat membosankan dimulai.

Adalah Sam Tsui, penyanyi yang katanya artis YouTube, dan demi rumput GBK yang telah ditutupi grass cover saya baru mendengar namanya saat itu. Dia menjadi opening act konser. What the.. Seorang artis yang tenar dari YouTube yang beraliran lagu pop dance macam boyband begitu membuka konser rock? Dan konser rock itu Bon Jovi? Wait wait.. Saya mencoba ber-khusnuzon, pasti ada yang spesial dari orang ini. Oke, saya coba mengamati penampilannya yang berjingkrak-jingkrak di atas panggung. Membawakan lagu pertama, saya mencoba mendengarkan. Lagu kedua, saya berucap “oh, okay”. Lagu ketiga, saya mulai mengernyitkan dahi. Lagu keempat, saya mulai bosan. Yang tadinya berdiri mulai duduk. Lagu kelima dan selanjutnya, sepanjang dia bernyanyi yang saya tidak paham musiknya dan dia ngomong apa, saya sudah pasrah dan berharap cobaan ini segera berakhir. Mengesalkan. Untungnya masa-masa itu terobati dengan kehadiran sosok-sosok yang di gelap-gelapan membuat riuh beberapa penonton di festival. Yup, mereka adalah Eross, Duta dan Adam personil Sheila On 7. Langsung saja melihat ada artis di barisan penonton seperti saya, hasrat saya sebagai anak Bekasi tak tertahankan untuk berfoto bersama, haha.

With Eross

With Eross

Ketika kegembiraan datang dikarenakan si Tsui itu telah selesai nyanyi lagu terakhirnya (mungkin juga karena disorakin penonton disuruh turun), saya segera merangsek gak santai ke depan karena ingin melihat Bon Jovi lebih dekat, dan ingin jejingkrakan juga di tengah-tengah crowd. Namun yang terjadi saya dan penonton lain masih harus menunggu selama kurang lebih setengah jam lamanya untuk mempersilakan bule-bule berbadan besar check sound dan mempersiapkan alat-alat. Saya sempat berkenalan dengan mas-mas sebelah yang ternyata datang sendirian dari Surabaya. Wih keren!

Yang mengherankan kenapa setelah Judika menyanyikan Indonesia Raya masih ada jeda 30 menit sebelum Bon Jovi naik panggung. Sependek pengalaman saya ketika Raisa yang membawakan anthem saat Metallica tidak selama itu. Ah tapi biarlah. Yang sedikit mengecewakan saat menunggu Jon dkk naik, penonton diam saja tanpa mengeluarkan panggilan-panggilan pada sang artis. Pengalaman nonton Metallica disini memberikan pengalaman luar biasa saat kita memanggil-manggil sang performer untuk segera naik ke panggung. Tapi tidak menjadi masalah, kehadiran Bon Jovi setelah naik stage dan membawakan lagu pertama, menjadi suatu pengalaman yang luar biasa.

Dengan setting panggung bernuansa biru, band yang 20 tahun silam datang ke Ancol ini memang tetap menebar aura karismatik. Saya yang dulu masih ingusan dan hanya bisa melihat dari YouTube sekarang ini merasa pandai dengan berhasil memprediksi lagu pertama yang dibawakan. That’s What The Water Made Me akhirnya benar-benar menjadi lagu pembuka, dan disinilah sesi awkward dimulai. Saya yang sudah lebih dari 10 hari mengisi playlist dengan lagu-lagu Bon Jovi yang diprediksi bakal dibawakan di konser sangat antusias dengan lagu itu, dan itu jadi favorit saya di album What About Now (2013). Namun yang terjadi, saya saja yang hanya melompat-lompat dan ikut bernyanyi, sedangkan sekeliling saya melongo dan hanya jejeritan tidak jelas. Dan yang pasti, mengangkat gadget masing-masing dengan diam mematung yang mengganggu pandangan. Bitch please, this is a rock concert and enjoy the fucking song! Di kejauhan saya lihat sekerumunan orang yang melompat-lompat dan menikmati lagu. Ah, andaikan saya berada di sana, saya bergumam dalam hati. Tapi biarlah, saya tetap loncat-loncat sampai pegel.

Melihat penampilan Jon, sangat jauh bila dibandingkan 20 tahun lalu ketika dia masih muda dan enerjik melompat ke kanan kiri panggung. Lengkingan suara tingginya pun kini tidak terdengar lagi, ia lebih banyak bernyanyi dengan nada rendah dan malah memberikan lagu-lagu bernada tinggi ke penonton. Jon tua ini lebih berkarakter, dengan keriput-keriput di wajahnya yang terlihat di layar besar kanan kiri panggung (yang cukup membuat heran karena itu layar kok ga taunya cuma persegi panjang ke atas doang bukannya full satu layar). Dan tanpa kehadiran sobatnya, Richie Sambora sang gitaris yang diganti oleh Phil X, memang awalnya agak terasa janggal. Memang secara kasat telinga tak jauh berbeda permainan Sambora dengan Phil, karena chord ataupun melod bisa dikulik, tetap saja ada yang berbeda, khususnya 1 yang tidak dimiliki Phil, kemampuannya untuk menjadi backing vocal suara tinggi yang selama ini diterapkan Sambora dibalik vokal Jon.

Beranjak ke lagu ke-2, Who Says You Can’t Go Home. Lagu dari album Have A Nice Day (2005) ini menjadi salah satu lagu Jon yang catchy dan enerjik. Satu lagu ballad yang asyik untuk dinyanyikan, dan energy saving karena tidak perlu melompat-lompat. Namun seenak-enaknya lagu ini, tetap saja banyak penonton yang diam dan tidak sing along. Ah, mungkin mereka lupa lirik dan nadanya karena sudah 10 tahun lalu. Disambung dengan Lost Highway dari album bertitel sama yang rilis tahun 2007, lagu yang bernuansa rock-country ini memang agak tanggung karena tidak terlalu keras tapi juga tidak slow. Tiga lagu awal yang dibawakan bukan lagu yang benar-benar kencang, namun cukup untuk memanaskan suasana. Beranjak ke lagu selanjutnya yaitu Raise Your Hands.

Sesuai dengan judulnya, Bon Jovi mengajak massa untuk mengangkat tangan mereka setiap lirik “Raise your hands!” dinyanyikan. Dan penonton segera saja mengiyakan keinginan Jon dan memeriahkan lagu ini dengan lambaian tangan ke udara sepanjang lagu. Lagu ini memang bukan menjadi hits Bon Jovi secara general, namun sangat cocok untuk memeriahkan suasana dan memanaskan crowd saat konser. Pemanasan menjelang kalimat singkat “Shot through the heart, and you’re to blame. You give love…..” yang diteriakkan Jon untuk kemudian dibalas crowd dengan teriakan keras “A BAD NAME.” Yup, lagu dari masterpiece album Slippery When Wet (1986) pastinya diketahui oleh semua orang, dan kita semua menyanyikannya dengan lantang hingga lagu usai. Jon kali ini bernyanyi tanpa menggunakan gitar dan ia mulai beranjak kesana kemari, dan ke sisi kanan kiri panggung. Bila melihat dari konser mereka 20 tahun lalu, tentu banyak perbedaan dalam gaya Jon membawakan salah satu hits mereka ini. Tapi tetap saja, lagu ini tetap asik dan menjadi magnet koor penonton hingga selesai dibawakan. Saya sendiri mulai bermandikan keringat mengikuti alunan tembang ini. Dan penonton GBK pun banyak juga yang hapal sehingga membuat suasana menjadi riuh. Yang menjadi renungan adalah, ketika saya mulai mengingat akan ketidakhadiran Sambora di band ini lagi, dimana biasanya melodi dari lagu ini lahir dari sayatan gitar Sambora, namun kali ini Phil X cukup baik dalam menutup ketidakhadiran gitaris iconic itu dari band. Setelah penonton mengumandangkan bait terakhir, baru intro lagu selanjutnya dimainkan. Lantunan backing vocal “Na.. Na.. Nana.. Na.. Na.. Nana.. Na.. Na..” terdengar di sekeliling panggung, dan itu rupanya adalah intro Born To Be My Baby.

Saya yang mengenal lagu ini malah dari aransemen yang berbeda di album This Left Feels Right (2003). Album yang membuat saya terkesima betapa lagu-lagu Bon Jovi dapat ditampilkan begitu asiknya dengan nuansa lain, dalam versi akustik. Dan setelah mengetahui lagunya, saya mendengarkan versi aslinya dan ternyata lagu itu membakar semangat. Lagu cinta yang ini tidak menye-menye, malah terkesan percaya diri. Itulah yang menjadi ciri khas Bon Jovi, bukan? Dandanan metal, musik rock yang keras namun lirik hampir semua bertemakan cinta, bahkan kadang terkesan cheesy. Tak sedikit musisi rock lain yang menyindir “kelakuan” mereka, namun mereka memberikan bukti. Seperti judul album box set mereka, 100.000.000 Bon Jovi’s Fans Can’t Be Wrong. Itulah buktinya.

Selepas lagu itu, Jon berkata pada penonton bahwa lagu selanjutnya adalah lagu yang pertama kali mereka bawakan live saat konser. Lagu itu ada di album terbaru, Burning Bridges. Saya pikir akan mendapatkan single yang lebih dulu keluar, Saturday Night Gave Me Sunday Morning. Namun yang terjadi adalah single lain berjudul We Don’t Run. Lagu ini agak “bukan” Bon Jovi karena unsur rock nya tidak begitu kentara. Lagu ini pun sukses bikin penonton tidak bergerak (wajar karena mayoritas baru mendengarnya), namun ada juga yang ikut bernyanyi, saya asumsikan mereka sudah men-download (baik legal atau illegally). Setelah lagu baru itu dinyanyikan, Bon mungkin iba melihat penonton diam saja, Tico Torres langsung menggebuk drumnya untuk membawakan intro dari mega hit yang sangat terkenal di Asia dan Indonesia terutama, periode 2000-an. Saat itu MTV masih tayang di ANTV, dan anak nongkrong menjadi sebutan yang akrab untuk generasi muda ketika itu. Semua pasti hapal lagu ini. Yup, It’s My Life akhirnya berkumandang juga.

Lagu yang menurut saya pribadi mainstream, dan sejujurnya saya tidak antusias menunggu lagu itu dibawakan. Karena apa, ya simpel saja, bosan. Bahkan saya lebih menyukai It’s My Life versi piano di album This Left Feels Right. Namun bagi banyak orang, lagu itu sangat ditunggu kemunculannya. Bahkan ada yang nonton konser ini hanya modal pengetahuan It’s My Life saja. Tidak salah, tapi come on, Bon Jovi datang gak hanya nyanyi It’s My Life, atau Bed of Roses, atau Always. Malah lagu-lagu itu nyatanya adalah lagu yang jarang dibawakan mereka secara langsung di atas panggung. Judul pertama pengecualian, karena itu tipikal lagu yang bisa memeriahkan crowd. Ironisnya, saya bisa melihat Jon nampak tidak lagi seperti di video klipnya yang jejingkrakan kesana kemari ketika dia bernyanyi “I just wanna live when I’m alivee…”. Ia hanya berdiri memegangi miknya. Sekali lagi, usia berbicara.

Lagu-lagu Bon Jovi yang paling sering dibawakan ketika konser. (Setlist.fm)

Lagu-lagu Bon Jovi yang paling sering dibawakan ketika konser. (Setlist.fm)

Nah, selepas It’s My Life justru lagu selanjutnya yang saya nantikan. Because We Can dari album What About Now (2013) menjadi lagu yang santai namun tetap berirama mengasyikkan. Namun lagi-lagi saya sayangkan, yang mengapresiasi lagu ini hanya segelintir. Kanan kiri depan belakang saya asyik diam saja sembari (lagi-lagi) mengacungkan gadget mereka yang menutupi pandangan. Bahkan ada yang menggunakan tongsis (ini yang paling menyebalkan), rasa-rasanya kalau saya bawa senapan mau saya tembak saja kamera di tongsis itu, malah mungkin sama orangnya sekalian. Saya sih cuek saja bernyanyi sambil lompat-lompat meskipun pegel dan tidak seru (karena sendirian). Di depan saya malah foto-foto selfie sama pacarnya, ngadep belakang lagi, nutupin pandangan saja, kampret. Akhirnya saya selak aja. Rasakan.

Untungnya Jon tahu mungkin salah satu fan nya (saya) bete, makanya dia langsung mengambil gitar akustik dan menyanyikan salah satu bait yang sangat populer “Hey man, i’m alive i’m taking each day and night at a time..” dan sekejap saja audiens seisi GBK karaoke massal lagu itu. Well, salah satu part terbaik Bon Jovi Live in Jakarta adalah di lagu ini. Dan saya adalah tipe penonton yang menunggu momen dimana band dan penggemarnya sing along, sepanjang lagu dan setiap lirik. Saya pernah merasakan sensasi itu ketika Tender (Blur), dan Nothing Else Matters (Metallica), what a wonderful moment. Dan Someday I’ll Be Saturday Night masuk ke salah satunya. Jon entah disengaja atau tidak, menyanyikan lagu ini dengan suara rendah. Kalau disengaja berarti dia memberikan kesempatan kepada penonton untuk nyanyi, kalau tidak berarti memang suaranya sudah tidak bisa melengking lagi. Ah saya tidak peduli, yang penting semua puas bernyanyi hingga suara asli penyanyinya tidak terdengar.

Setelah koor bareng itu selesai, Jon kembali membawakan lagu di album What About Now berjudul sama. Ini termasuk salah satu lagu yang saya gemari juga, namun sayang nasibnya sama seperti Because We Can, sepi antusiasme. Jika kalian membuka YouTube dengan mengetik kata kunci judul lagu ini ditambah “Bon Jovi Live in Jakarta” maka kalian akan melihat video sang keyboardis David Bryan tersenyum sembari memainkan lagu ini, dengan penonton bagian depan yang rata-rata diam saja tanpa gerakan. Oke, skip.

Lagu selanjutnya, We Got It Goin On, Jon tampak lebih ekspresif dengan joget kesana kesini. Gayanya mungkin sekarang lebih lucu karena mirip orang senam, namun aksi panggung pentolan Bon Jovi itu bisa lebih memancing keriuhan penonton. Selesai lagu itu, intro In These Arms dibawakan. Alamak, lagu yang dulu menjadi bahan saya genjrang-genjreng gitar dan mencari liriknya dengan tape recorder dan kaset kakak saya, membuat saya tak kuasa menyanyikan bait demi bait hingga suara tambah habis. Inilah hebatnya Bon Jovi, lagu-lagu romantis dan agak “cengeng” seperti ini bisa dibungkus menjadi lagu ballad yang digemari. One of the best band’s song. Tidak lama lampu panggung gelap, dan Jon berkata “Any cowboys out here..??” dan kami semua sadar bahwa lagu selanjutnya adalah Wanted Dead Or Alive.

Lagu yang menjadi anthem Bon Jovi di setiap konser ini, dengan intro khas nya memancing histeria penonton, dan Jon dengan baik hati memberikan part awal lagu ini hingga reffrain untuk kami nyanyikan bersama. Amazing feeling tetapi belum bisa mengalahkan performa Saturday Night. Setelah lelah saya (kami) bernyanyi bersama, lagu selanjutnya I’ll Sleep When I’m Dead menjadi agak antiklimaks karena selain lagu ini kurang akrab di telinga, juga energi kami sudah agak habis di masa-masa pertengahan konser. Namun bukan Bon Jovi namanya kalau tidak punya lagu-lagu hits lain yang bisa kembali re-charge semangat penonton. Well, bagaimana kalau kita diberikan Keep The Faith? Hits yang dulu saya ingat selagi kecil, saat stasiun tivi baru 1-2 channel selain TVRI, sering nongol video klipnya di acara-acara musik. Keep The Faith pun bisa memeriahkan suasana karena di akhir lagu masing-masing personil menunjukkan keahlian mereka dengan memainkan alat musiknya secara solo. Hal ini mengundang tepuk tangan meriah penonton sebelum lagu favorit saya dibawakan selanjutnya.

Your love is like bad medicine! Begitu bunyi lirik dari lagu selanjutnya. Lagu yang menjadi simbol glam rock saat jayanya dan juga menjadi icon lagu-lagu Bon Jovi. Lagu cinta romantis parah yang dibalut rock kental ini juga menjadi salah satu penampilan terbaik mereka selama konser. Saya merasakan atmosfir luar biasa di kerumunan penonton ketika menyanyikan bersama lagu ini. Lagu ini menjadi “penutup” konser karena setelah selesai, Jon langsung berpamitan menyudahi konser. Eh, tunggu dulu. Apakah mereka menyerah semudah itu? Dimanakah Always, Bed Of Roses, dan lagu-lagu lain yang dinanti-nantikan penonton? Ternyata seperti biasa, mereka menghilang untuk memancing encore.

Setelah Jon dan teman-temannya menghilang di balik panggung, suasana gelap dan teriakan “KAMI MAU LAGI, KAMI MAU LAGI” berkumandang, kita semua tahu itu hanya trik panitia dan upaya memancing kembali antusiasme penonton. Jon dan band nya pasti akan kembali, dan yang menjadi pertanyaan, lagu apakah yang akan dibawakan? Setelah intro lagu pertama dimainkan oleh keyboardis David Bryan, seisi GBK sontak bersorak gembira bahwa lagu pertama adalah Runaway. Kembali ke jaman dahulu, terus terang saya malah baru mendengarkan dengan seksama Runaway di masa-masa persiapan sebelum konser. Runaway ternyata salah satu lagu yang populer di angkatan lama fans Bon Jovi. Agak mengherankan sekaligus disayangkan, bahwa jika melihat bocoran foto setlist yang tersebar di medsos, pilihan lagu pertama encore sebenarnya ada 3-4 pilihan, termasuk lagu yang paling ditunggu oleh rakyat, yaitu Always. Hal ini semakin menegaskan sekali lagi bahwa Always bukanlah lagu panggung mereka, mungkin hanya cukup diabadikan di album rekaman. Setelah Runaway, Bon Jovi menurut saya menempatkan 1 lagu yang tepat untuk dibawakan menjelang akhir begini: Have A Nice Day.

Lagu yang agak terlupakan, namun menurut saya lebih powerful dibanding It’s My Life. Lagu ini sanggup membawa adrenalin saya kembali naik, dan dengan cahaya panggung warna merah mendominasi, mungkin mengingatkan kita kembali pada cover album Have A Nice Day (2005) yang bergambar coretan wajah bernuansa merah. Have A Nice Day cukup mendapat sambutan meriah penonton sebelum lagu pamungkas ini dibawakan.

Ada beberapa konser dengan ending yang luar biasa indahnya, dengan menampilkan lagu yang paling populer. Saya ambil contoh ketika Shine dibawakan Collective Soul (2013).

Membawakan gitar akustik sembari menyanyikan bait pertama, Jon tampak tenang dan kembali memberikan part reffrain kepada penonton. Sekali lagi formulanya sama, antara sudah tidak kuat nada tinggi atau test the water. Untuk kali ini saya lebih memilih yang kedua. Karena setelah mendengar penonton hapal bener reff lagu tersebut, Phil X mulai membunyikan gitarnya dan memberikan efek khas Livin On A Prayer pada intro. Memang bukan milik Sambora, tapi jika kita memejamkan mata mendengarkan suara gitarnya saja, sulit membedakan ini Sambora atau bukan. Artinya, Phil tried the best, and he’s awesome. Dan lagu penutup ini, adalah yang terbaik dari semua lagu yang dibawakan Bon Jovi sepanjang konser. Lagu penutup yang bagus, lagu pamungkas yang paripurna. Bagaimana Jon membawakan dengan 2 versi, akustik dan full band, benar-benar saved the whole concert dari segala kekurangan dan minusnya. Tidak ada yang bisa saya ceritakan lagi dari penampilan Livin On A Prayer ini. Hanya 1 minusnya, itu juga kalau mau dicari, ya apalagi kalau kurang Sambora.

bimo stand

Akhirnya konser ditutup setelah 2 jam mereka bermain, dengan 20 lagu dibawakan. Salut untuk Tico Torres, sang drummer. Meskipun telah berusia senja, ia masih mampu menampilkan pertunjukan yang bagus. Kredit juga untuk Phil X sebagai gitaris (entah resmi atau additional) lewat permainan gitarnya yang ciamik. David Bryan seperti biasa cool dan menawan. Jon, dia adalah sumber kharisma band ini. Dan selamat untuk saya yang bela-belain nonton meskipun sendirian, karena belum tentu 20 tahun lagi mereka masih bisa main band apalagi mau datang ke Jakarta, bukan?

Tagged , , , ,

21 thoughts on “Who Says You Can’t Go Back, To Make A Memory? (Review of Bon Jovi Live in Jakarta 2015) #latereview

  1. New Rule says:

    Phil X sudah resmi diangkat jadi anggota band begitu kabar terakhirnya 😀

  2. New Rule says:

    kere reviewnya serasa nonton 😀

  3. Dita says:

    Oh jadi kamu anak bekasi?
    *salah fokus* 😛

  4. welly prazh says:

    miracle ga dinyanyikan juga ya? salah satu lagu yg aku suka tuh 🙂 makasih buat reviewnya

Leave a reply to thebimz Cancel reply